Sejarah Kerajaan Pontianak - Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779. A. Sejarah Awal Masuknya Islam di Kerajaan Pontianak
Kedatangn pelaut-pelaut Arab, Persia, dan Gujarat di Kalimantan Barat telah memperlihatkan kepada penduduk setempat mengenai tradisi besar yaitu agama Islam. Agama islam masuk ke Kalimantan Barat adalah dari utara yaitu Johor dan Bintan, kemudian dari Brunei melalui aliran Sungai Sambas dan berpusat di Kerajaan Sambas. Dari Sambas inilah kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah, Pontianak, menyusuri Sungai Kapuas (Nurcahyani dkk, 1999: 84-85). Masuknya Islam ke di sini tidak terlepas dari adanya peran dari pedagang muslim. Mengingat waktu itu interaksi yang dilakukan dengan negeri-negeri luar adalah perdagangan. Meskipun perdagang Muslim adalah menjual dan membeli barang dagangan, mereka juga menyebarkan atau memperkenalkanajaran-ajaran Islam kepada orang-orang di wilayah-wilayah asing (Tjandrasasmita, 2009: 21). Hal tersebut dikarenakan dalam Islam tidak ada pendeta yang dianggap magis dan keramat seperti dalam kekristenan Katolik. Setiap pedagang Muslim bebas memperkenalkan ajaran Islam kepada siapapun. Oleh karena itu, perkembangan Islam relatif cepat di Kalimantan Barat. Setelah dari Pontianak, agama Islam berkembang ke daerah Landak dan Islam yang berkembang di Mempawah menyebar ke daerah Kubu, Tayan, dan sekitarnya. Sedangkan menurut Effendi (dalam Nurcahyani dkk, 1999: 85), di daerah Ketapang, Islam masuk dari Palembang kemudian menyusuri Sungai Pawan menyebar ke sekitarnya dan terus menuju ke pedalaman sebelah utara ke arah Sanggau dan Sintang, juga di daerah Sukadana dan Teluk Melano. Namun, mengenai kapan agama Islam masuk ke Pontianak tidak ada keterangan yang lebih jelas.
|
Sejarah Kerajaan Pontianak |
Menarik perhatian beberapa tahun yang lampau pernah dilaporkan kepada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta bahwa di daerah Sukadana ditemukan nisan-nisan kubur Islam dan ternyata setelah diteliti bentuknya sama dengan nisan-nisan kubur di Tralaya yang pernah diteliti oleh L.Ch. Damais. Nisan-nisan kubur di daerah Sukadana tersebut seperti halnya nisan-nisan kubur di Tralaya sekitar abad ke-14—15 M (Poesponegoro, 2008: 89). Pendapat itu diperkuat bahwa ketua kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah banyak hubungannya dengan Jawa dan Malaka sehingga kehadiran Islam di daerah Kalimantan Barat di pesisir itu mungkin sudah ada sejak abad-abad tersebut. Ambary (1998: 8) mengemukakan bahwa di sebelah barat Kalimantan Islam tampaknya menyebar lebih kemudian. Kota Waringin misalnya, menerima Islam sesudah Banjarmasin, begitupun dengan daerah yang lebih ke barat lagi seperti Sambas dan Pontianak.
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pontianak
Meskupun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 M atau tahun 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya datang ke Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca Alquran, ilmu fikih, dan ilmu hadist. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampai ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak (Poesponegoro, 2008: 90).
Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pemimpin utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu dan daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, banyak datang para pedagang dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus (nama lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus bin Abdurrahman bin All bin Hasan bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Husein bin Abdullah al-Aydrus) yang memerintah dari tahun 1199-1209 H. Konon ia gugur tahun 1870 M karena serangan musuh yang tidak diduga.
|
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Pontianak |
Pendapat lain mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan Barat terutama ke Sukadana adalah Habib Husain al-Gadri ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab namanya Syekh karena itulah Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana (Poesponegoro, 2008: 90). Dengan kesaktian Habib Husein al-Gadri mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyatnya Habib Husein al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syi’ar Islam, yang setelah wafat dia digantikan oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan Keraton dan Mesjid Agung. Berdirinya Kerajaan Pontianak tepat pada tanggal 23 Oktober 1771, dan dijadikan sebagai peringatan hari jadi kota Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman sebagai pendiri kota Pontianak sampai sekarang makamnya masih dikunjungi orang, terutama orang-orang yang masih percaya akan kesaktian dari Sultan Syarif Abdurrahman.
C. Raja-Raja Kesultanan Pontianak
Raja-raja yang memimpin di Keeajaan Pontianak adalah keturunan dari Al Habib Husain Alqadrie. Raja-raja tersebut adalah:
· Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie bin Al Habib Husain Alqadrie (1771-1808)
· Sultan Syarif Kasim Alqadrie bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1808-1819)
· Sultan Usman Alqadrie bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1819-1855)
· Sultan Syarif Hamid I Alqadrie bin Syarif Usman Alqadrie (1855-1873)
· Sultan Syarif Yusuf Alqadrie bin Syarif Hamid I Alqadrie (1873-1895)
· Sultan Syarif Muhammad Alqadrie bin Syarif Yusuf Alqadrie (1895-1944)
· Sultan Syarif Taha Alqadrie bin Syarif Yusuf Alqadrie (1944-1945)
· Sultan Syarif Hamid II Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie (1945-1950)
(Nurcahyani dkk, 1999: 14)
Dari kedelapan sultan-sultan tersebut, hanya tiga orang sultan yang terdengar kabarnya. Mereka adalah sultan yang pertama, keenam, dan yang terakhir. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber atau bukti yang menceritakan tentang sultan-sultan lainnya tersebut.
1. Al Habib Husain Alqadrie
Jauh sebelum Sultan Abdurrahman lahir, ayahnya Al Habib Husain Alqadrie datang ke Kerajaan Matan di Ketapang (Nurcahyani, 1999: 11). Berdasarkan keterangan tersebut, kita bisa mengetahui bahwa awal pertama Islam dibawa ke Ketapang melauli Palembang yang kemudian menyusuri Sungai Pawan. Kedatangan Al Habib Husain Alqadrie disambut dengan baik oleh Raja Matan dengan diangkat sebagai penyebar syari’at agama Islam.
Ambary (1998: 9) mengemukakan bahwa dalam fase pelembagaan Islam (abad 17-18M) terjadi pergulatan antara emporium dan imperium serta komunikasi yang diselenggarakan para penyebar Islam—pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi—yang berdampak semakin diakuinya peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi. Dalam hal ini para penyebar Islam kemudian dapat menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak di antara mereka yang menikah dengan putri kerajaan dan masyarakat pribumi. Hal ini juga terjadi pada Al Habib Husain Alqadrie, dia kemudian menikah dengan Nyai Tua dan memperoleh 4 orang anak, yaitu yang pertama diberi nama Syarifah Chatidjah, kedua Syarif Abdurrahman, yang ketiga Syarifah Aliyah, dan yang keempat adalah Syarif Alwi. Setelah cukup lama berada di Kerajaan Matan, Al Habib Husain Alqadrie besrta seluruh keluarganya pindah ke Kerajaan Mempawah. Kepindahan ini disebabkan karena adanya kekecewaan Al Habib Husain Alqadrie terhadap sikapRaja Matan. . Pada waktu itu pusat kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng Menambon berada di Sebukit di Mempawah Hulu (Arifnasah: 2012).
Ketika Al Habib Husain Alqadrie berpindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah, tahun 1755, Al Habib Husain Alqadrie sengaja meminta permukiman baru yang berada di Kuala Mempawah dan dekat ke Laut. Ia ingin berhubungan dengan masyarakat yang berlalu lintas sambil berdagang sehingga penyebaran agama Islam akan lebih mudah berkembang keberbagai daerah. Hal ini sangat masuk akal, mengingat perkembangan agama Islam berkembang pesat karena adanya lalu lintas dan transaksi perdagangan. Kita ketahui, raja pertama Kerajaan Pontianak bukan Al Habib Husain Alqadrie, tetapi ia adalah ayah dari keturunan berukitnya yang kemudian mendirikan Kerajaan Pontianak, yaitu anak keduanya yang bernama Syarif Abdurrahman.
2. Sultan Syarif Abdurrahman Nur Alam
Saat kepindahan Al Habib Husain Alqadrie dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah, usia Syarif Abdurrahman sudah mencapai 18 tahun. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin (Wikipedia: 2010). Dari kepindahan di sinilah, ia kemudian menikah dengan putri Opu Daeng Menambon yang bernama Utin Tjandramidi. Namanya juga masih muda, jiwa petualangan Syarif Abdurrahman menyebabkan ia sering meninggalkan Mempawah dan pergi ke daerah-daerah, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya antara lain adalah Tambolon, Pulau Siantan, Palembang, dan Banjar. Di kota Banjar inilah Syarif Abdurrahman menikah lagi dengan Ratu Syahranun, putrid dari Sultan Banjarmasin dan memperoleh gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Hubungan ini mungkin terjadi karena Banjarmasin sudah menerima Islam lebih dahulu daripada wilayah lainnya di Kalimantan. Menurut J.J.Ras (dalam Ambary: 1998) daerah yang pertama kali menerima kehadiran Islam di luar Brunei adalah Banjarmasin dan dalam Hikayat Banjar menyatakan bahwa pihak yang mengislamkan daerah banjar sekitar 1550 M adalah Kerajaan Demak. Hal tersebut mungkin karena sejak masa pra Islam, hubungan ekonomi antara Banjar dan pantai utara Jawa sudah sering terjadi. Sehingga dengan persamaan agama yang dianut oleh Syarif Abdurrahman dan Kerajaan Banjarmasin, membuat ia dipercaya oleh Sultan Banjarmasin untuk memperistri putrinya. Sehingga hubungan pertalian antara raja dan ulama semakin kuat.
Setelah wafatnya Al Habib Husain Alqadrie, Syarif Abdurrahman beserta keluarganya mencari perjalanan untuk membuka daerah baru. Perjalanan Syarif Abdurrahman beserta keluarganya tidak berjalan dengan mulus, banyak ganggguan yang yang ditemui dalam perjalanan, antara lain gangguan dari makhluk halus (Nurcahyani, 1999: 12). Setelah memperoleh tempat yang dirasa cocok, yaitu tempat jatuhnya meriam yang telah ditentukannya maka dibangunlah masjid yang sekarang terkenal dengan sebuitan Masjid Jami’Sultan Abdurrahman. Kemudian setelah selesai baru didirikanlah keratin sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya sebagai pusat pemerintahannya. Keratin tersebut diberi nama Keraton Kadriah. Syarif Abdurrahman mengangkat dirinya sebagai raja dengan bergelar Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie (Arisandi: 2011).
Pengangkatan diri yang dilakukan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie bukan semata-mata karena keinginannya sendiri. Tentunya kita bisa melihat, ia adalah menantu dari Raja Mempawah dan Raja Banjarmasin, memiliki pengikut, dan ayahnya adalah seorang ulama. Sehingga membuka kemungkinan ia juga didukung oleh pengikutnya dalam mendedikasikan dirinya sebagai raja. Para pengiukutnya mendirikan pemukinman-pemukiman baru di sekitar keraton. Begitupun dengan ketujuh orang Dayak (membantu Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie mengusir makhluk halus), mereka dihadiahi tanah dan beras sebagai imblan bantuannya terhadap raja.
Dalam kepemimpinan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie Kerajaan Pontianak sebagai kerajaan terakhir di Kalimantan Barat mempunyai perkembangan yang pesat dibandingkan dengan kerajaan lain yang sudah berdiri terlebih dahulu. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie, Kerajaan Pontianak mengalami masa kejayaannya. Hal ini dikarenakan dalam pemerintahannya Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie begitu giat mengembangkan perdagangan sehingga berkembang pesat. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan Sambas, Sellakau, Sebakau, dan Singkawangberjalan dengan lancar. Begitu juga perkembangan hubungan dagang dengan pedagang-pedagang seperti Cina, India, dan Eropa (Nurcahyani, 1999: 13-14). Kelancaran hubungan tersebut mungkin dikarenakan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie sudah terbiasa melakukan perjalanan-perjalanan semasa mudanya sehingga ia bisa dengan mudah melakukan komunikasi dan diplomasi dengan pimpinan daerah lain. Selain itu, kedudukan ayahnya yang awalnya adalah ulama menjadikan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie dikenal oleh pedagang-pedagang dari daerah luar.
3. Sultan Syarif Muhammad Alqadrie
Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sebagai sultan keenam memerintah Kerajaan Pontianak sampai kedatangan Jepang di Kalimantan. Beliau meninggal dunia akibat penganiayaan Jepang dalam peristiwa “penyungkupan” yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Saat itu Sultan Syarif Muhammad selesai solat tahajjud saat tentara Jepang datang untuk melakukan penyungkupan ke dalam istana dan akhirnya Sultan Syarif Muhammad Alqadrie beserta seluruh putra putrinya kecuali Syarif Hamid yang kelak akan menjadi Sultan Hamid II (Syarifuddin & Isnawita, 2009:91). Peristiwa itu terkenal dengan istilah “mandor”.
4. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie
Sultan Syarif Hamid merupakan raja yang paling menonjol di Kalimantan Barat menjelang masa kemerdekaan RI, terutama dalam bidang politik. Sesuai dengan latar belakangnya yang memperoleh pendidikan Barat, maka dasar pemikirannya sangat moderat. Beliau dilahirkan pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak, mendapat pendidikan ELS di Sukabumi, kemudian di Pontianak dan Yogyakarta. Di Bandung masuk pendidikan HBS selama satu tahun di THS lalu di KMA di Breda di negeri Belanda sampai tamat (Nurcahyani, 1999: 15). Masa hidupnya banyak dijalani di luar Kalimantan Barat, yaitu di Malang setelah menematkan pendidikannya di Breda, karena oleh tentara Belanda diangkat menjadi tentara berpangkat Letnan. Kemudian dipindahkan ke Balikpapan dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Pernah menjadi tawanan Jepang saat masa pendudukan Jepang, namun kemudian diangkat kembali oleh Belanda menjadi Kolonel pada tahun 1945.
Tanggal 29 Oktober 1945, dia dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Terlepas dari konotasi sebagai seorang penghianat, sebenarnya Sultan Hamid II adalah seorang yang cerdas dan memiliki pengalaman politik yang luas. Sultan Hamid II banyak menduduki jabatan-jabatan yang cukup tinggi baik baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa Indonesia merdeka. Beliau adalah satu-satunya putera Kalimantan Barat yang menonjol saat itu.
D. Sejarah Kehidupan Masyarakat Kerajaan Pontianak
1. Keadaan Sosial
Kota Pontianak yang berdiri pada tahun 1771 terletak di persimpangan tiga sungai besar, yaitu Sungai Kapuas dengan cabangnya Sungai Landak. Dari persimpangan ini terdapat tiga nama sungai yaitu Sungai Landak mengalir dari timur laut, Sungai Kapuas Kecil mengalir dari arah timut sedang sungai Kapuas Besar yang merupakan pertemuan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil mengalir kearah barat menuju laut. Menurut Alqadrie (dalam Nurcahyani, 1999: 16), Kota Pontianak sering disebut sebagai pintu gerbang daerah Kalimantan Barat karena letaknya yang strategis berada di jalur lalu lintas laut Internasional yang menghubungkan wilayah nusantara melalui Selat Malaka. Dengan demikian sejak zaman dahulu daerah ini sering menjadi persinggahan kapal-kapal besar. Sedangkan letak Kota Pontianak sendiri agak menjorok ke dalam, ini dimaksudkan untuk perlindungan keamanan, sehingga kapal-kapal yang singgah di sini bisa dikontrololeh penguasa Pontianak sendiri.
Mengingat bahwa sebelum dibentuknya Kota Pontianak, sudah ada penduduk asli di sana, yaitu orang-orang Dayak. Dengan hal tersebut, bisa dilihat bahwa kependudukan di daerah Pontianak bersifat heterogen. Ditambah lagi, setelah berdirinya Kota Pontianak, beberapa suku akan berdatangan dari daerah-daerah lainnya, baik yang dari Kalimantan Barat sendiri, ataupun yang dari luar kalimantan Barat. Beberapa faktor yang mungkin bisa dijadikan acuan mengapa Pontianak dijadikan pilihan untuk bermigrasi, yang pertama Pontianak adalah pusat pemerintahan dari Kalimantan Barat. Kedua, Pontianak adalah kota dagang dan pelabuhan. Ketiga, Pontianak menawarkan segala sesuatu yang diperlukan kita dari alam, apalagi Pontianak terletak di tiga persimpangan sungai besar. Sehingga untuk transportasinya pun lebih mudah.
Suku-suku yang datang ke Kalimantan Barat, tentunya terdiri dari berbagai macam sehingga nantinya tentu akan menciptakan perbedaan. Berbagai kategori pengelompokan sosial berdasarkan atas ras, agama, dan etnis. Penduduk asli dari daerah ini sebenarnya adalah suku Dayak. Sebelum Islam datang, mereka tinggal di hutan-hutan pedalaman, menganut sistem animisme. Kemudian mereka membantu Sultan Abdurrahman untuk membuka lahan yang nantinya akan dijadikan Kota Pontianak. Bagi orang-orang Melayu, mereka disebut penduduk hulu sungai atau penduduk pedalaman. Ketika seorang Dayak masuk Islam, mereka akan dikatakan orang Melayu, sehingga dengan mereka masuk Islam, maka mereka melakukan mobilitas sosial. Anehnya, setelah mereka masuk Islam dan disebut suku Melayu, mereka akan menyangkal bahwa nenek moyang mereka adalah suku Dayak.
Di antara suku bangsa asing yang berada di Pontianak, bangsa Cina termasuk yang paling besar dan tergolong sebagai pedagang yang sukses (Nurcahyani, 1999: 18). Akibat dari hal ini, tentunya akan menimbulkan kecemburuan sosial terhadap penduduk asli yang berasal dari Pontianak sendiri. Kedatangan bangsa Cina ke Kalimantan melalui pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan memperhitungkan angin muson. Sebenarnya, hubungan Cina dan Kalimantan Barat sudah terjalin sebelum tahun 1777. Hal ini dikarenakan menurut Lombard (hal.64), di bagian barat pulau borneo, tidak jauh dari Pontianak, emaslah yang menarik penambang cina dan seorang hakka bernama lo fong-phak pada tahun 1775 mendirikan sebuah kongsi otonom, yang akan bertahan selama seabad lebih, sampai saat Batavia campur tangan dan memaksakan kewibawaannya.
Pembagian wilayah Kota Pontianak menyebabkan adanya kecenderungan dalam sistem pelapisan sosial. Di sebelah timur pelapisan sosial cenderung didasarkan kepada agama dan keturunan. Keluarga raja yang bergelar Syarif maupun Syarifah menduduki lapisan atas, sedangkan rakyat biasa menduduki tempat kedua atau lapisan bawa. Sedangkan wilayah barat cenderung memandang penguasa sebagai lapisan atas, alim ulama dan tokoh masyarakat dan orang-orang kaya sebagai golongan menengah, dan golongan bawah diduduki oleh petani dan, pedagang kecil, buruh dan lainnya.
2. Keadaan Ekonomi
Telah disebutkan di atas bahwa penduduk Kota Pontianak sangat heterogen. Hal ini menyebabkan mata pencaharian masyarakat bermacam-macam pula. Menurut La Ode (dalam Nurcahyani, 1999: 20), beberapa jenis mata pencaharian masyarakat Kalimantan Barat di masa lampau adalah sebagai berikut:
|
mata pencaharian masyarakat Kalimantan Barat di masa lampau |
Selain dari sector pertanian, di Kalimnatan Barat juga terjadi perdagangan. Penduduk yang bertempat tinggal di pedalaman Kalimantan, hidup dengan mengumpulkan hasil hutan, beternak, dan menangkap ikan. Sehingga nantinya, hasil dari masyarakat tersebut, dijual untuk saling memenuhi kebutuhan, sedangkan yang tidak ada, diimpor dari luar negeri. Proses perdagangan di Pontianak sudah dilakukan dengan transaksi keuangan . Menurut Khastiti (2011: 6), Kerajaan kerajaan islam di derah Pontianak, Banjarmasin, dan kalimantan selatan mengedarkan uang tembaga yang disebut duit.bisa jadi juga bahwa kata lain duit untuk uang itu berasal dari Kalimantan Barat. Kalimantan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Dari hutan-hutan di Kalamantan, menghasilkan barang-barang komoditi berupa lili, kapur barus, kayu kemenyan, dan maduyang sangat laku di pasaran. Begitupun dengan hasil lautnya. Di lain pihak, Kalimantan Barat sendiri tidak menghasilkan barang-barang konsumsi yang cukup untuk keperluan penduduknya, sehingga Kalimantan Barat masih mendatangkan barang-barang tersebut dari daerah lain. Barang-barang komoditi dari Kalimantan Barat seperti kopra, karet, lada, dan hasil-hasil hutan itu diekspor ke Singapura, Hongkong, Belanda, Amerika Serikat, Jepang dan lain-lain melalui pelabuhan Pontianak, dimana barang-barang komoditi tersebut merupakan barang-barang yang dibutuhkan di negara-negara tersebut. Sedangkan kapal-kapal dagang yang datang ke Pontianak mmbawa pakaian dan barang-barang konsumsi yang dibutuhkan oleh masyarakat Kalimantan barat.
Mengenai perdagangan di Kalimantan Barat, tidak lepasa dari peran pedagang Cina dan pelabuhan Pontianak sendiri. Pelabuhan Pontianak sebagai pintu gerbang daerah Kalimantan Barat terletak di dua jalur lalu lintas laut, sehingga menjadikan kota Pontianak sebagai pintu gerbang daerah Kalimantan Barat. Pantai Kalimantan Barat ini terletak di jalur lalu lintas internasional yang menghubungkan kepulauan Indonesia dengan wilayah Asia melalui selat Malaka. Pelabuhan Pontianak digunakan sebagai tempat persinggahan bagi kapal-kapal besar, bahkan sebagai kota perdagangan bagi Eropa.
3. Kehidupan Sosial Budaya
Salah satu dasar budaya yang penting adalah agama. Unsure ini sangat penting bagi pribumi, terutama untuk melaksanakan hidup yang dalam mencapai kebahagiaan baik material ataupun spiritual. Di daerah kota maupun di pedesaan-pedesaan Kalimantan Barat, sebagian besar penduduknya beragama Islam. Sedangkan di daerah pedalamannya, kebanyakan penduduknya menganut kepercayaan tradisional. Awal mula kedatangan agama Islam ke Kalimantan Barat melalui utara yaitu Johor dan Bintan, kemudian juga Brunai masuk ke aliran sungai Sambas dan berpusat di Kerajaan Sambas. Dari Sambas ini kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah, kemudian ke Pontianak.
Namun dalam perkembangannya kedua kepercayaan ini yaitu Islam dan kepercayaan hidup dengan damai dan berjalan dengan tenang. Sehingga dengan demikian system kebudayaan yang terdapat di Kalimantan Barat terbagi menjadi tiga:
· Sistem budaya penduduk asli
· System budaya Hindu/Buddha
· System budaya Islam
(Nurcahyani, 1999: 24)
a. Dalam Bidang Pendidikan
Agama Islam semula pengajarannya hanya dibatasi pada keluarga istana raja, setelah raja dan keluarganya memeluk Islam, maka pejabat kerajaan dan penduduk juga mulai melakukan apa yang dilakukan raja untuk belajar agama Islam (Nurcahyani, 1999: 86). Sehingga di dalam masyarakat yang tradisional itu unsur-unsur dan nilai-nilai kharismatik dijunjung sangat tinggi. Jadi hubungan antara raja, ulama, dan penduduk menjadi sangat serasi.
b. Dalam Bidang Kesenian
Kesenian yang bernafaskan Islam mulai dikenal oleh penduduk yang mulai memeluk agama Islam, seperti:
· Membaca berzanji, yaitu membaca solawat dengan iringan rebana dan kemudian radat dan zapin, merupakan perwujudan seni yang mempunyai unsur keagamaan.
· Menenun, merupakan salah satu bentuk hasil karya seni dari suku Melayu yang berdiam di daerah pantai maupun suku Dayak di pedalaman. Perbedaannya terletak pada bahan yang ditenun atau corak dan motif yang ditenun.
· Cap kerajaan bertuliskan huruf-huruf Arab adalah huruf-huruf resmi kerajaan.
· Simbol keislaman di Kerajaan Pontianak ini biasa dilihat dari adanya Masjid Jami’Abdurrahman.
Peninggalan-peninggalan yang bisa kita temui dari Kerajaan Pontianak ini adalah sebagai berikut:
· Keraton Kadriah
Didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie bin Al Habib Husain Alqadrie ketika beliau membuka pemukiman baru.
· Masjid Jami’Abdurrahman
Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Usman dibangun kembali dan tetap dijadikan masjid kesultanan. Demi mengabadikan Abdurrahman sebagai pembuatnya, maka dijadikanlah namanya sebagai nama masjid itu. Terdrir dari enam tiang kokoh yang melambangkan rukun iman, dan 4 atap yang melambangkan sahabat nabi. Menurut Zein (1999: 317), Masjid Jami’ Abdurrahaman selain dijadikan tempat ibadah, juga dijadikan sebagai tempat penyebaran dan penggalian ilmu-ilmu Islam.
Demikianlah materi tentang Sejarah Kerajaan Pontianak yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi Sejarah Kerajaan Dana Mbojo Di Bima yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar…!!!