Sejarah Hidup dan Perjuangan R.A. Kartini - “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” demikianlah kata pepatah yang hingga kini menjadi panutan bangsa Indonesia dalam memberikan penghargaan bagi para pahlawan. Betapa tidak, dalam perjalanannya bangsa Indonesia telah menghasilkan banyak pahlawan yang telah berjuang mati-matian untuk memperoleh serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Baik itu pahlawan nasional, pahlawan kemerdekaan, hingga pahlawan revolusi, semua mendapat penghargaan karena mereka telah berjasa besar bagi kepentingan bangsa Indonesia. Banyak dari para pahlawan tersebut berjuang di medan peperangan, sebut saja sosok Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura, dan Sultan Agung yang berjasa dalam memerangi tentara kolonial Belanda. Namun ada pula yang berjasa terhadap bangsa Indonesia bukan melalui jalan perang melainkan melalui pendidikan. Salah satu di antaranya adalah Raden Ajeng Kartini, pahlawan wanita yang telah berjasa dalam membela hak kaum wanita Indonesia serta memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik bagi rakyat pribumi. Berikut kami rangkum Sejarah R.A. Kartini, Masa hidup dan Perjuangannya.
A. Sejarah Masa Kecil
1. Kelahiran Kartini
Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Mayong, sebelah utara Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1897 atau tahun Jawa 28 Rabiulakhir 1808. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjadi Asisten Wedana1 Mayong, Kabupaten Jepara waktu itu. Ibu kandung Kartini, M.A. Ngasirah adalah seorang „bijvrouw‟2 atau istri kedua R.M. A.A. Sosroningrat. Ketika Kartini dilahirkan, ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan dan menjadi Bupati Jepara menggantikan kedudukan R.A.A. Tjitrowikromo, ayah R.A. Woerjan.
Sesuai dengan adat-istiadat zaman itu, keluarga Kartini mengadakan kenduri berupa bubur merah putih untuk upacara pemberian nama bagi Kartini. Kartini juga melewati upacara-upacara seperti cukur rambut dan turun bumi (upacara di mana sang bayi untuk pertama kali diturunkan ke tanah) karena bagi orang Jawa, ada babak-babak yang sangat penting dalam hidup yang tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa upacara yakni kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan kematian.
|
Sejarah Hidup dan Perjuangan R.A. Kartini |
2. Latar Belakang Keluarga Kartini
Ayah Kartini, R.M.A. Sosroningrat adalah putra dari Pangeran4 Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak sehingga secara garis keturunan ayah Kartini termasuk dalam golongan ningrat. Sedangkan ibu kandungnya, M.A. Ngasirah adalah putri Madirono, seorang mandor pabrik gula dan hanyalah seorang rakyat biasa. Karena itulah Ngasirah hanya dijadikan sebagai istri kedua setelah Raden Ayu Woerjan yang murni golongan ningrat karena masih keturunan Raja Madura. Meskipun Kartini tidak 100% darah bangsawan, namun ia tetap tinggal bersama ayahnya dan menjadi golongan ningrat. Namanya menjadi Raden Ajeng Kartini.
B. Sejarah Masa Sekolah
1. Mencecap Pendidikan Barat
Kakek Kartini, Ario Tjondronegoro adalah bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putera-puterinya dengan pengajaran Eropa. Enam belas tahun lamanya beliau menjadi Bupati Demak. Beberapa tahun sebelum meninggal pada tahun 1866, beliau memberikan wejangan kepada putra-putrinya, yaitu: Anak-anak, tanpa pengajaran kelak tuan-tuan tiada akan merasai kebahagiaan, tanpa pengajaran tuan-tuan akan makin memundurkan keturunan kita; ingat-ingat kata-kataku ini.
Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya seseorang menguasai bahasa Belanda. Ayah Kartini, R.M. A.A. Sosroningrat adalah salah satu bupati yang pandai berbahasa Belanda.
Pendidikan Barat yang ia terima dari sang ayah, menjadikannya maju dalam berpikir. Untuk itu ia memberi kebebasan bagi putera-puterinya untuk menuntut pelajaran di sekolah. Karena baginya, pendidikan menjadi sesuatu yang penting sehingga sebisa mungkin seluruh anaknya harus bersekolah. Drs. R.M. Sosrokartono, kakak laki-laki Kartini bahkan dapat meneruskan sekolahnya hingga ke negeri Belanda.
Kartini pun masuk ke Europese Lagere School6. Kartini jelas beruntung bisa bersekolah, karena menurut adat Jawa, anak perempuan tidak boleh bersekolah karena hanya anak laki-lakilah yang boleh memperoleh pendidikan. Di sekolah rendah tersebut, tak jarang Kartini mengalami diskriminasi warna kulit yang pada zaman itu masih membeda-bedakan antara kulit putih dan coklat. Orang-orang pribumi yang secara kelas sosial lebih rendah dari orang-orang Belanda, menjadi sasaran tindakan diskriminasi baik itu dalam hal pergaulan hingga penilaian dari guru yang lebih memihak siswa Belanda.
Pengalaman diskriminasi itu Kartini sadari sebagai akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak ingin memajukan kaum pribumi. Kartini meyakini bahwa sebenarnya orang pribumi mampu lebih pandai dari orang-orang Belanda. Semua tergantung dari kebebasan yang diperoleh orang pribumi untuk memajukan pendidikan. Meskipun begitu, Kartini tidak mau menyerah. Ia tetap bersemangat dalam belajar hingga tamat sekolah.
2. Cita-Cita Kartini
Di sekolah, Kartini memiliki seorang sahabat karib bernama Lesty, seorang gadis Belanda. Perjumpaannya dengan Lesty ternyata menjadi bekal perjuangannya. Suatu ketika Kartini hendak mengajak Lesty untuk bermain. Namun Lesty menolak karena ingin belajar Bahasa Prancis demi melanjutkan sekolah di Negeri Belanda. Lesty juga mengungkapkan tentang cita-citanya menjadi guru. Lesty pun menanyakan tentang cita-cita Kartini. Namun Kartini tidak pernah memikirkan tentang cita-citanya.
Pertanyaan yang diajukan Lesty masih terngiang di pikiran Kartini. Ia tidak tahu ketika dewasa nanti akan menjadi apa. Dalam kebingungannya, ia menghadap ayahnya dan minta diterangkan tentang pertanyaan itu. Ketika ditanya tentang hal itu, ayahnya hanya tertawa tanpa ada jawaban. Merasa belum mendapat jawaban, Kartini terus saja merengek minta jawaban pasti. Ia sangat ingin tahu tentang masa depannya sehingga ia takkan puas sebelum mendapat jawaban dari sang ayah. Akhirnya, Kartini pun diberi tahu tentang masa depannya bahwa ia akan menjadi seorang Raden Ayu. Hatinya menjadi senang karena ketika dewasa nanti ia akan menjadi Raden Ayu. Namun sebenarnya, dari sinilah lahir cita-cita perjuangan Kartini yang sangat mulia. Pemikirannya akan masa depan semakin terasah.
C. Sejarah Masa Pingitan
1. Tradisi Yang Tidak Terhindarkan
Ketika berusia 12 tahun, Kartini tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah karena harus dipingit sesuai dengan tradisi ningrat Jawa. Tradisi itu mengharuskan seorang gadis bangsawan untuk dipingit hingga seorang pria datang melamarnya. Ia sangat sedih karena keinginannya untuk meneruskan sekolah di H.B.S (Hoogere Burgerscholen)7 Semarang tidak diizinkan oleh keluarganya. Ayahnya yang sangat maju dalam pendidikan, ternyata tdidak mampu melawan tradisi Jawa yang sudah turun-temurun itu. Begitu pula dengan Raden Ayu8 dan saudaranya yang lain tetap menghendaki Kartini untuk dipingit sesuai adat istiadat. Kartini tidak diperbolehkan keluar dari area kabupaten, bahkan keluar rumah pun ia tidak boleh. Kartini merasakan masa pingitan yang ia alami sebagai penjara baginya.
Ia merasa tersiksa dengan tradisi tersebut karena baginya seorang manusia itu seharusnya bebas menentukan hidupnya. Ia ingin seperti teman-teman Belandanya yang dapat meneruskan pendidikan hingga negeri Belanda. Ia sadar bahwa sebenarnya pengalaman pahit ini juga dialami oleh gadis pribumi lain. Dalam benaknya, ia ingin agar gadis pribumi di kemudian hari tidak mengalami nasib seperti dia. Ia menghendaki kebebasan yang lepas dari keterikatan adat khususnya bagi gadis pribumi. Dari situlah lahirnya cita-cita Kartini untuk memperjuangkan hak kaum wanita pribumi. Ia mencita-citakan kesetaraan di antara pria dan wanita di Hindia Belanda. Kartini memang tidak dapat menghindari tradisi itu, namun setidaknya muncul keinginannya untuk menghentikan tradisi kolot yang baginya sudah tidak relevan lagi pada jaman itu.
Kepada kedua adik perempuannya Rukmini dan Kardinah, Kartini mengungkapkan segala isi hatinya. “Biar sekarang dipingit, tetapi aku akan berusaha supaya gadis pribumi di kemudian hari jangan sampai mengalami nasib seperti kita ini. Mereka harus bebas seperti teman-teman kita di Barat.”9
2. Buku Bacaan Sebagai Penghiburan
Meskipun harus terkurung dalam tradisi pingitan yang menyiksa, ternyata Kartini tidak menyerah sama sekali. Meskipun tidak sekolah, ternyata semangat belajar Kartini tetap besar. Ayah Kartini yang takluk oleh adat istiadat ternyata masih menghendaki putrinya maju dalam pendidikan. Ayah dan kakaknya, RM. Sosrokartono selalu membawakan Kartini buku-buku bacaan sebagai penghiburan yang disambut antusias oleh Kartini. Sejak saat itulah Kartini menjadi senang membaca. Semua buku bacaan baru baik itu yang berbahasa Belanda, Jawa, maupun Melayu, ia baca hingga berulang-ulang. Meskipun terkadang Kartini kesulitan memahami isi buku, namun ia tidak pernah menyerah. Ia selalu meminta tolong kakaknya untuk menerjemahkan isi buku yang dianggapnya sulit. Kakaknya pun dengan tulus membantu Kartini. Kartini juga tertarik pada majalah kebudayaan dan pengetahuan yang sebenarnya cukup berat bagi gadis seusianya.
Selain membaca, Kartini juga mengisi waktunya dengan menulis. Sejak berkenalan dengan Estelle Zeehandelaar, Kartini menjadi gemar menulis surat. Kartini pun semakin terbuka akan kehidupan rakyat pribumi. Kendati hanya melalui buku bacaan, bukan melihat secara nyata. Dalam kungkungan tradisi yang keras itu, Kartini memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal lebih banyak tentang rakyatnya, tetapi ia mencintai, menghargai, dan menderita buat rakyatnya. Ia ikut memikirkan kesulitan dan penderitaan mereka. Masa pingitan yang sangat menyiksa, ternyata mampu memberi penghiburan baginya terutama dengan aktivitas membaca dan menulis. Semua itu berawal dari buku-buku bacaan pemberian sang ayah. Sehingga selain menjadi sumber penghiburan, buku-buku itu juga menjadi sumber pengetahuan bagi Kartini. Bahkan di usianya yang relatif muda, ia mampu berpikir kritis tentang keadaan bangsanya yang begitu terbelakang dibandingkan dengan Belanda.
3. Dunia Barat Terbuka Baginya
Tahun 1895, ketika Kartini menginjak usia 16 tahun, Raden Ajeng Sulastri kakak perempuan tertua, menikah dan mengikuti suaminya ke Kendal. Selepas kepergian Sulastri, Kartini pun menjadi anak perempuan tertua dalam keluarga dan ia pun memperoleh kebebasannya kembali. Kini ia boleh ke luar kabupaten dan tidak lagi terkurung di dalam rumah. Meski masih tidak diperbolehkan meneruskan sekolah, setidaknya Kartini dapat mencium kembali udara segar di luar kabupaten Jepara. Kini ia dapat melihat keadaan rakyat pribumi secara nyata bukan hanya sekedar dari buku. Sebagai kakak tertua, Kartini juga menghentikan tradisi kolot yang mengharuskan adik-adiknya untuk berjongkok dan menyembah kakaknya. Ia menekankan kesetaraan di keluarganya.
Pada awal tahun 1900, tuan Ovink-Soer, yang menjabat sebagai Asisten Residen10 ditemani nyonya Ovink datang berkunjung ke rumahnya. Kartini dan kedua adiknya, Rukmini dan Kardinah dengan senang hati menerima kehadiran mereka. Kedua orang Belanda itu sangat heran mendengar Kartini dapat berbahasa Belanda dengan lancar. Tuan Ovink menjadi tertarik dengan Kartini karena baru pertama kalinya beliau menggunakan bahasa Belanda dengan anak pribumi. Padahal ketika mengunjungi kabupaten-kabupaten, tuan Ovink hanya menggunakan bahasa Melayu pasar. Karena itulah, nyonya Ovink ingin mengajak Kartini untuk datang ke rumah mereka. Ayahnya pun dengan terbuka memperbolehkan Kartini datang ke rumah tuan Ovink.
Nyonya Ovink ternyata menjadi tempat curahan hati Kartini akan pemikirannya tentang keadaan wanita pribumi yang jauh berbeda dengan keadaan wanita di Eropa. Melalui saran nyonya Ovink, Kartini memasang sebuah iklan di surat kabar setempat yang berbunyi: Seorang gadis bangsawan Jawa ingin mengadakan surat-menyurat dengan seorang gadis di negeri Belanda.11 Setelah menunggu sekitar dua bulan, akhirnya iklannya ditanggapi. Ia memperoleh surat atas nama Estelle Zeehandelaar dari negeri Belanda yang bersedia menjadi teman surat-menyurat Kartini. Sejak saat itulah Kartini gemar menulis surat untuk bertukar pikiran dengan sahabat barunya itu. Keinginannya untuk memperjuangkan hak kaum wanita pribumi pun semakin memuncak dengan surat-surat yang ia kirim kepada Stella. Dunia barat semakin terbuka baginya dan semangatnya untuk memperjuangkan emansipasi wanita pribumi pun semakin memuncak.
D. Sejarah Mengejar Cita-Cita
1. Hasrat Mendidik Gadis Pribumi
Kartini merasa bahwa perjuangannya tidak akan pernah tuntas apabila ia tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Awalnya ia sangat berhasrat menjadi seorang dokter karena dapat bersekolah di Belanda. Namun ia sadar bahwa ayahnya tidak mengizinkannya melanjutkan pendidikan di Belanda. Meskipun ayahnya sangat mendukung keinginan Kartini, namun ayahnya masih takluk dengan adat yang menganggap bahwa hanya prialah yang pantas mendapat pendidikan tinggi ketimbang perempuan. Meskipun kecewa dengan sikap ayahnya, namun ia merasa bersyukur karena telah memperoleh pendidikan Barat yang banyak mengembangkan cara berpikirnya kendati hanya di sekolah rendah.
Kartini merasa bahwa pendidikan itu tidak hanya diperuntukkan bagi kaum pria. Baginya, kaum wanita juga perlu mendapat pendidikan sehingga tidak hanya mengikuti apa kata orang tua harus rela untuk menerima lelaki yang tidak ia kenal. Ia ingin agar para wanita dapat menentukan masa depannya sendiri dan tidak hanya mengandalkan suami dalam mencari nafkah. Ia ingin agar para wanita juga memperoleh keterampilan dan pendidikan sama seperti para laki-laki.
Kartini merasa tergerak hatinya untuk mendidik gadis-gadis pribumi. Karena baginya, gadis-gadis pribumi perlu mendapat pendidikan seperti gadis-gadis di Belanda. Ia telah membulatkan tekadnya untuk menjadi pendidik. Ia ingin menjadi seorang pendidik yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan namun juga keterampilan, dan kepribadian bagi gadis-gadis pribumi.
2. Perjuangan Sekolah Kartini
Karena keinginannya untuk meneruskan sekolah ke negeri Belanda ditolak ayahnya, Kartini kembali mendesak ayahnya agar memberinya izin bersekolah di Semarang yang letaknya tidak jauh dari Jepara. Namun ayahnya tidak berani menentang adat dan tetap menolak permintaan Kartini. Ternyata Kartini tidak menyerah begitu saja. Ia mencari cara lain yakni dengan mengirimkan surat kepada Direktur Pendidikan dan Kebudayaan Belanda, Mr. J.H. Abendanon. Surat Kartini ditanggapi positif dan beliau bersedia berkunjung ke Jepara pada tanggal 25 Januari 1902 bersama Nyonya Abendanon Mandri .
Kesempatan inilah yang Kartini manfaatkan untuk mengutarakan segala keinginannya untuk bersekolah lebih tinggi dan untuk mendirikan sekolah putri kepada Mr. Abendanon. Kartini berharap Mr. Abendanon dapat membantunya untuk memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda agar ia dapat meneruskan sekolah ke negeri Belanda. Namun setelah menunggu sekian lama, Kartini tidak kunjung memperoleh kepastian dari pemerintah Belanda. Ia sempat berpikiran untuk masuk ke sekolah dokter di Jakarta, namun keinginan itu juga tidak kunjung terealisasikan. Kartini kemudian membuka sebuah sekolah putri sesuai saran dari Nyonya Abendanon yang ia beri nama Sekolah Kartini (Kartini-Schoolvereniging). Muridnya ketika itu hanya sembilan orang gadis Jepara yang masih kerabat dekatnya.
Sekolah Kartini ini diadakan di pendopo kabupaten, sedangkan gurunya adalah Kartini, Rukmini, dan Kardinah. Mereka mengajarkan para gadis itu keterampilan menjahit, memasak, menyulam, dan bahasa Jawa. Kartini berharap dapat membantu para gadis Jepara agar menjadi lebih pandai sehingga dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik.
D. Sejarah Senyum Di Akhir Hidup
1. Perkawinan Kartini
Ternyata apa yang diimpikan Kartini terjadi. Ia memperoleh beasiswa sebesar f 4.800 dari pemerintah Belanda sehingga ia dapat meneruskan sekolah ke negeri Belanda. Namun di saat bersamaan, orang tuanya telah menerima pinangan Bupati Rembang, Raden Adipati Ario Singgih Joyodiningrat, yang sudah memiliki tiga istri serta beberapa anak. Kartini tidak diizinkan untuk melanjutkan sekolah ke negeri Belanda karena ia harus menikah dengan Bupati Rembang itu. Beasiswa yang diperoleh, Kartini berikan kepada pemuda yang sangat cerdas bernama Agus Salim12. Tanggal 8 November 1903, Kartini menikah dan selanjutnya tinggal di Rembang bersama suaminya. Kartini jelas merasa kecewa karena perkawinan ini ia rasakan sebagai paksaan bukan sebagai pilihannya sendiri. Sebenarnya hasratnya untuk memperoleh pendidikan masih sangat tinggi bahkan Kartini tidak pernah berpikir untuk menikah terlalu dini. Ia merasa masa depannya akan terusik dengan perkawinannya. Namun ia berusaha untuk menerima keadaannya karena ia percaya bahwa suaminya adalah pria yang baik. Ia menghormati suaminya yang sudah berusia 50 tahun, namun ia merasa kecewa karena suaminya berpoligami13, sesuatu yang dilarang oleh agama. Meskipun Kartini dijadikan istri utama, namun ia tetap harus hidup satu atap dengan istri yang lain.
Kartini menyadari bahwa pengalaman ini juga dialami oleh gadis-gadis pribumi lain, dijodohkan oleh orang tua tanpa persetujuan untuk mengikuti lelaki pilihan orang tua yang tidak ia kenal. Ia merasa prihatin karena kaum wanita tidak diberi kesempatan untuk memilih masa depannya sendiri termasuk kebebasan dalam perkawinan. Dalam masyarakat Jawa kala itu, memang dalam hal perkawinan, kaum wanita dianggap tidak perlu memberi persetujuan karena orang tualah yang berhak menentukan perkawinan anak gadisnya.
2. Dukungan Sang Suami
R.A.A. Joyodiningrat, suami Kartini ternyata berpikiran maju seperti ayah Kartini di mana ia mendukung cita-cita Kartini. Ia memperbolehkan Kartini untuk mendirikan sekolah putri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Kartini tidak hanya memperjuangkan sekolah putri saja, ia juga berkeinginan untuk mendidik anak laki-laki dalam sekolah pertukangan kayu. Melihat hasil yang dicapai Kartini dalam kegiatan sekolahnya, suaminya mengabulkan keinginannya mendatangkan pengukir dari Jepara untuk mendidik anak laki-laki dalam sekolah pertukangan kayu. Kartini merasa bahagia karena suaminya banyak membantu usaha dan perjuangannya sebagai guru.
3. Akhir Hidup Kartini
Sebagaimana istri pada umumnya, Kartini pun hamil setelah beberapa bulan menikah. Namun dalam masa kehamilan itu, Kartini seringkali jatuh sakit. Tubuhnya semakin lemah namun semangatnya masih tetap membara. Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama R.M. Soesalit. Setelah melahirkan Soesalit, kesehatan Kartini semakin menurun. Hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 17 September 1904 di saat usianya masih 25 tahun. Jenazahnya dikebumikan di desa Bulu, Rembang.
Setelah Kartini wafat, sekolah Kartini yang telah beliau dirikan ternyata tidak berhenti begitu saja. Sekolah Kartini menjadi semakin berkembang tidak hanya di Rembang namun berdiri pula Sekolah Kartini di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, dan Madiun.
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
E. GAGASAN, CITA-CITA, DAN KARYA KARTINI
Kalau aku jadi pengarang, betul dapat aku bekerja banyak-banyak dengan luasnya mewujudkan cita-citaku dan memajukan bangsa kami, sedang kalau aku jadi guru, hanya kecil lingkungan kerjaku, tetapi aku dapat mendidik dengan langsung, dan lingkungan yang kecil itu boleh jadi menjadi luas, akhirnya menjadi contoh teladan bagi orang, asal saja contoh yang diberikan itu ternyata contoh yang baik..... Engkau tahu gemarnya hatiku akan kesusasteraan, dan tahulah engkau, cita-citakulah menjadi pengarang yang ada berharga.14
1. Sejarah Di Balik Pemikiran Revolusioner Kartini
a. Kemajuan Pendidikan dalam Keluarga Tjondronegoro
Kartini adalah sosok yang fenomenal, sebab di usianya yang relatif muda, ia sudah mampu berpikir maju demi kemajuan bangsa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya yang revolusioner ini ternyata tidak datang dengan sendirinya. Kartini mengalami suatu proses dalam hidupnya yang telah membangkitkan semangatnya dalam memperjuangkan hak asasi manusia bagi perempuan pribumi khususnya dan rakyat pribumi pada umumnya. Salah satu faktor yang turut berperan membentuk pemikiran maju Kartini adalah kemajuan pendidikan dalam keluarga Tjondronegoro yang secara turun-temurun diterima oleh Sosroningrat (ayah Kartini) hingga Kartini sendiri.
Selama dipingit, Kartini merasakan penderitaan batin karena tidak boleh keluar dari kompleks kabupaten. Namun, ternyata ayahnya, Sosroningrat tetap berpikiran maju dengan memberikan buku-buku bacaan kepada Kartini. Buku-buku itu selain memberikan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai sumber penghiburan bagi Kartini di dalam pingitan. Dengan buku-buku itulah, Kartini menjadi semakin tahu akan dunia Barat dan Hindia Belanda secara lebih mendalam. Hal itulah yang secara tidak langsung telah membentuk karakter dalam diri Kartini. Kemajuan pendidikan dalam keluarganya berperan besar terhadap lahirnya pemikiran-pemikiran Kartini. Ayahnya terbukti mau memberikan kesempatan bagi Kartini untuk berkembang meskipun secara fisik masih terikat oleh tradisi.
b. Perkenalan dengan Dunia Barat
Semasa hidupnya, Kartini adalah pribadi yang terbuka dan rendah hati. Ia tidak hanya bergaul dengan kaum ningrat, namun juga mau bergaul dengan pribumi Jawa yang dalam stratifikasi sosial zaman itu termasuk strata terbawah. Kartini tidak mempedulikan golongan sosial secara vertikal, karena baginya semua manusia itu sederajat, demikian juga antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran-pemikiran ini banyak muncul setelah perkenalannya dengan dunia barat baik itu melalui ilmu pengetahuan mengenai Eropa maupun perjumpaannya dengan orang Belanda.
Perkenalannya dengan dunia barat diawali ketika Kartini sekolah di ELS yang mayoritas muridnya adalah peranakan Eropa. Kartini bersahabat dengan Lesty, seorang gadis Belanda yang memperkenalkan arti cita-cita padanya. Ia menjadi tahu bahwa setiap orang itu memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai. Di sinilah saat di mana Kartini mulai memikirkan cita-citanya mulai dari menjadi Raden Ayu hingga cita-cita luhurnya untuk memajukan bangsa.
Munculnya pemikiran dan gagasan Kartini tidak lepas pula dari pengaruh orang-orang Belanda yang menjadi sahabat dan pembimbing Kartini. Mereka adalah:
Mr. J.H. Abendanon dan Nyonya Abendanon yang turut membantu Kartini dalam usahanya mendirikan sekolah putri. Kartini sendiri banyak mencurahkan isi hatinya kepada Nyonya Abendanon yang dalam beberapa suratnya dipanggil ’ibu’ oleh Kartini.
Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, nyonya asisten residen Jepara yang mendukung niat Kartini untuk bersekolah di Belanda.
Tuan H.H van Kol dan Nyonya van Kol yang banyak memberi dukungan padanya.
Estelle Zeehandelaar, seorang gadis Yahudi-Belanda yang aktif dalam gerakan sosial dan feminisme di negeri Belanda. Ia menjadi sahabat pena Kartini dalam bertukar pikiran, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat kontras dengan Kartini. Pertemanannya dengan Estelle menjadikan wawasan Kartini akan negeri Belanda semakin luas. Meski tidak berkontak secara langsung, hubungan tersebut secara nyata banyak mempengaruhi sikap dan mental Kartini terutama dalam memperjuangkan cita-citanya.
c. Buku-Buku yang Menginspirasi
Munculnya gagasan dan cita-cita revolusioner Kartini juga didukung oleh buku-buku bacaan pemberian ayah dan kakaknya Sosrokartono semasa pingitan. Penderitaan batin yang dialami Kartini semasa pingitan, serasa terobati oleh kehadiran buku-buku tersebut. Buku-buku tersebut secara nyata menjadi sumber penghiburan bagi Kartini dalam penderitaan, namun juga memberikan ilmu pengetahuan serta wawasan yang luas baginya. Sastra-sastra Belanda yang ia baca juga turut mempengaruhi pemikiran serta cita-citanya.
Berikut adalah buku-buku yang menginspirasi gagasan dan cita-cita Kartini:
- Buku karangan Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Minnebrieven. Lewat buku ini, ia mengetahui akibat buruk dari penindasan yang dilakukan Belanda terhadap pribumi.
- Buku karangan Mr. C. Th. van Deventer yang berjudul Een Eereschuld memberi inspirasi bagi Kartini terutama dalam membela hak-hak kaum pribumi.
- Buku karangan Nyonya C. Goekoop de Jong yang berjudul Hilda van Suylenburg. Buku ini menjadi salah satu pembuka jalan bagi Kartini untuk mengenal kewajiban-kewajiban wanita terhadap keluarganya, lingkungan dan masyarakat. Di samping itu juga mengajarinya mengenal hak-haknya sebagai wanita yang adalah manusia. Hasratnya untuk membela emansipasi wanita khususnya pribumi Hindia Belanda semakin membulat setelah beberapa kali membaca buku ini.
- Buku karangan August Babel yang berjudul De Vrouw en Socialisme (Wanita dan Sosialisme) yang membuat Kartini semakin sadar akan kodrat antara pria dan wanita yang sejatinya sama sebagai manusia.
- Majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie yang memberi pengetahuan tentang kemajuan kaum wanita di Belanda yang sudah setara dengan kaum pria. Majalah inilah yang membuat pemikiran Kartini semakin kritis karena keadaan wanita di Belanda sangat bertolak belakang dengan wanita pribumi di negerinya.
- Buku Moderne Maagden atau Perawan-perawan Modern karangan Marcel Prěvost. Dari buku ini Kartini memperoleh inspirasi tentang Gerakan Wanita di Eropa yang mencerminkan keberanian serta daya juang wanita dalam menegakkan keadilan.
- Buku De Wapens Neergelegd atau Sarungkan Senjata karangan Bertha von Suttner yang memberinya inspirasi tentang perjuangan untuk memenangkan perdamaian sosial.
- Buku karangan Henryk Sienkiewicz yang berjudul Quo Vadis? Atau Iman dan Pengasihan yang menceritakan tentang keuletan serta ketabahan jemaat Nasrani dalam menghadapi siksaan serta ancaman dari kekuasaan Romawi. Buku tersebut memberikan pengaruh besar pada Kartini di bidang kesetiaan serta keuletan dalam memperjuangkan cita-citanya.
2. Karya-Karya Inspiratif Kartini
Jalan yang diambil Kartini untuk mewujudkan gagasan dan cita-citanya adalah melalui jalan sebagai pengarang melalui karangan-karangannya baik itu dalam bentuk surat, catatan harian, puisi, maupun prosa. Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami.
a. Door Duisternis tot Licht
Cita-cita dan gagasan Kartini yang maju itu ternyata banyak terbentuk dari karya-karyanya ketika masa pingitan hingga ia menikah. Salah satu karya inspiratif Kartini ialah surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Door Duisternis tot Licht. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag ini diprakarsai oleh Mr. J.H. Abendanon. Buku ini berisi 105 tulisan yang terdiri dari surat, catatan harian, sajak dan nota18 Kartini tentang pendidikan dan pengajaran.
Buku tulisan Kartini ini diterbitkan dengan tujuan untuk menarik perhatian dan meminta pertolongan orang dalam pengembangan sekolah putri pribumi yang menjadi cita-cita Kartini semasa hidupnya. Buku ini ternyata mampu menginspirasi pembacanya dan disambut dengan baik sehingga buku ini mengalami pencetakan berulang kali. Hasil penjualan buku ini dikumpulkan dalam perhimpunan ”Kartinifonds” di Den Haag dan akan digunakan untuk mendirikan sekolah putri dan membantu gadis-gadis pribumi.
“Surat itu penting benar dalam hidup kami; hampir semuanya kami peroleh dari berkirim-kiriman surat itulah; bila tiada pernah berkirim-kiriman surat itu, tiadalah akan sampai kami berani meninggalkan adat kebiasaan yang telah berabad-abad lamanya itu. Amatlah banyaknya barang yang indah jelita dan berharga datang kepada kami dengan perantaraan post, mutiara, intan permata bagi otak dan hati.”(Surat kepada Mr. Abendanon, 8 Agustus 1902).
Surat-surat Kartini yang ada di dalam buku Door Duisternis tot Licht ini terdiri atas:
- 14 surat kepada Estelle Zeehandelaar,
- 8 surat kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer,
- 3 surat kepada Tuan dan Nyonya Prof. Dr. G.K. Anton di Jena (Jerman),
- 4 surat kepada Dr. N. Adriani,
- 5 surat kepada Nyonya G.G. de Booij-Boissevain,
- 3 surat kepada Ir. H.H. van Kol,
- 7 suratkepada Nyonya Nelly van Kol,
- 49 surat kepada Nyonya R.M. Abendanon,
- dan 6 surat kepada E.C Abendanon (putra Mr. Abendanon).
Kartini menuliskan surat-suratnya bukan dengan bahasa Melayu atau bahasa Jawa, melainkan menggunakan bahasa Belanda terutama karena ia berkorespondensi lebih banyak dengan orang Belanda. Sastrawan Indonesia, Armijn Pane menerjemahkan surat-surat Kartini dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Karena pengaruhnya yang cukup besar terutama bagi pribumi, seorang sastrawan Jawa bernama Raden Sosrosoegondo pun menerjemahkan surat Kartini dari bahasa Belanda ke bahasa Jawa.
b. Tulisan Inspiratif Kartini Lainnya
Ketika berumur 16 tahun, Kartini telah menulis sebuah karangan antropologi tentang adat perkawinan golongan Koja di Jepara, yang kemudian diterbitkan dengan judul Het Huwelijk bij de Kodja‟s. Karangan antropologi tentang perkawinan kembali ia tulis, tetapi kali ini tentang perkawinan yang terjadi di kalangan pembesar pribumi. Ia terinspirasi bahan ini sewaktu adiknya, Kardinah menikah pada tahun 1903. Lalu pada umur 19 tahun, Kartini menulis sebuah naskah berjudul Handchrift Jepara sewaktu diadakannya Pameran Nasional untuk Karya Wanita di Den Haag, Belanda pada tahun 1898. Tulisan itu Kartini buat untuk memperkenalkan keunggulan-keunggulan seni rakyat dan hasil kerajinan tangan negerinya terutama seni batik. Tulisan Kartini ini menjadi perhatian banyak orang di Belanda sehingga banyak dari antara mereka yang mulai menyukai hasil seni Jawa.
Kartini juga menulis sebuah artikel yang berjudul Van een Vergeten Uithoekje atau Dari Pojok yang Dilupakan demi membela para pengukir kayu di Jepara yang terancam kehilangan pekerjaannya kala itu. Tulisan-tulisan Kartini seperti yang disebutkan di atas ternyata semakin menunjukkan bahwa ia sangat peduli akan kebudayaan Indonesia dan pelbagai polemik yang dialami kaum pribumi. Kita dapat membayangkan, betapa agung pemikiran dan cita-citanya dari berbagai tulisan yang telah ia buat.
3. Kartini dan Pendidikan
a. Pandangan Kartini tentang Pendidikan
Pendidikan, bagi Kartini menjadi sesuatu yang sangat fundamental karena baginya satu-satunya jalan untuk memajukan bangsa ialah melalui pendidikan. Ia berpendapat bahwa pendidikan itu mampu mengembangkan setiap pribadi dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan moral yang didapatkan. Kartini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak cukup hanya diberikan kepada kaum laki-laki saja, namun kaum perempuan juga perlu memperoleh pendidikan yang sama.
Pandangan Kartini akan pendidikan pernah ia tulis dalam sebuah nota yang berjudul “Berikanlah Pendidikan kepada Bangsa Jawa (baca Indonesia)” yang ditujukan kepada Mr. J. Slingenberg yang pada tahun 1903 dipublikasikan melalui berbagai surat kabar. Isinya adalah:
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya. Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, dan berbicara; dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”
Pandangan Kartini mengenai pendidikan ini memang tidak dapat dilepaskan dari pengalaman empiris yang ia alami sejak masa pingitan yang begitu menyiksa batinnya. Segala pengalaman ini telah memunculkan gagasan-gagasannya tentang pendidikan dan melahirkan sebuah cita-cita luhur untuk memajukan pribumi.
Secara garis besar, pokok-pokok pandangan Kartini tentang pendidikan adalah sebagai berikut:
- Kunci kemajuan bangsanya terletak pada pendidikan; karena itu seluruh rakyat harus menerima pendidikan tersebut.
- Pendidikan sifatnya harus non-diskriminatif dan harus diberikan kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, keturunan, kedudukan sosial dan sebagainya..
- Pendidikan untuk rakyat yang bersifat nasional meliputi pendidikan sekolah (formal) dan juga pendidikan watak dan kepribadian anak-anak.
- Kartini memandang bahwa begitu penting untuk secara khusus menyelenggarakan persekolahan bagi kaum wanita.
Gagasan Kartini tentang pendidikan terlihat jelas dalam suratnya kepada E.C. Abendanon pada tanggal 15 Agustus 1902 yang berbunyi:
Duh, karena itu aku inginkan, hendaknya di lapangan pendidikan itu pembentukan watak diperhatikan dengan tidak kurang baiknya akan dan terutama sekali pendidikan ketabahan. Dalam pendidikan ini harus dapat dikembangkan dalam diri kanak-kanak, terus-terus...
b. Terwujudnya Gagasan Pendidikan Kartini
Gagasan Kartini tentang pendidikan, secara nyata terwujud melalui Sekolah Kartini yang ia dirikan bersama saudarinya Rukmini dan Kardinah. Bahkan setelah Kartini wafat, Sekolah Kartini banyak didirikan seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, dan Madiun. Pandangan Kartini mengenai pentingnya pendidikan bagi usaha memajukan bangsa secara tertulis tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni di dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Gagasan-gagasan Kartini tentang pendidikan yang tercantum dalam perundangan Indonesia antara lain:
Pasal 31 UUD 1945 tentang pemerataan pendidikan yang sifatnya non diskriminatif. Gagasan tersebut ditegaskan dalam ayat 1 pasal 31 yang berbunyi, “Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran (pendidikan)” yang dalam perspektif Kartini adalah pendidikan tanpa membedakan gender atau suku bangsa.
Gagasan tentang pendidikan juga tercantum dalam ayat 2 pasal 31 yang berisikan tentang tugas pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran (pendidikan) nasional yang diatur dengan Undang-undang.
TAP IV MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara mengenai tujuan pendidikan nasional kita, semakin menegaskan asas pendidikan yang meliputi pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 dalam Bab II UU Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi,” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Undang-undang ini secara tidak langsung telah mengungkapkan pemikiran Kartini tentang pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan namun juga pengembangan watak dan kepribadian yang baik.
Pada pasal 4 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 juga terdapat buah pemikiran Kartini yang berbunyi,” Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Dalam gagasannya ini, Kartini memperjuangkan hak asasi manusia terlebih bagi kaum perempuan agar memperoleh pendidikan yang layak serta setara dengan kaum laki-laki.