Sejarah Cirebon - Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal AlangAlang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang1 diubah namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang/cai-rebon Tahun 1389 M, Cirebon disebut “Caruban Larang”, terdiri atas Caruban pantai/ pesisir dan Caruban Girang. Letak Cirebon yang berada dipesisir Pantai Utara Jawa yang merupakan jalur strategis perdagangan lokal maupun internasional membuat Cirebon cepat berkembang menjadi tempat persinggahan para pedagang dari luar negeri. Para pedagang yang singgah di pelabuhan Cirebon umunya adalah pedagang Islam yang berasal dari China, Arab, dan Gujarat yang kemudian banyak diantara mereka yang menetap di Cirebon. Sejak abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang kemudian menetap. Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis yang pernah mengadakan pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531, kerajaanPajajaran melarang orang-orang muslim terlalu banyak masuk ke dalam. Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menguasai wilayah Sunda termasuk hingga kewilayah Cirebon. Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar Sri Paduka (Baduga) Maharajaatau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
|
Sejarah Cirebon |
A. Sejarah Cirebon
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
B. Perkembangan Awal Cirebon
1. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
2. Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
C. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
1. Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
3. Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat olehFatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
4. Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
5. Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
D. Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
1. Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
- Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
- Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisikeraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
2. Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu KesultananKacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
E. Runtunya kerajaan cirebon
a. Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
b. Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka menjadi permusuhan.
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak. Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan, Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.
F. Hasil Kebudayaan
1) Seni Bangun dan Ragam Hias
Berdasarkan tinjauan teori proses akulturasi, yang terjadi di Cirebon sejak berkembangnya kesultanan, jelas tidak dapat dipisahkan dari adanya unsur-unsur budaya sebelumnya, yaitu Hindu-Budha yang tumbuh dan berkembang dengan unsur-unsur budaya refleksi dari keagamaan Islam. Contohnya adalah pada pembentukan kota dari segi morfologis, bangunan keraton, bangunan masjid, seni ukir atau hiasan, naskah-naskah kuno (manuskrip), dan lainnya.
Cirebon tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota, terutama sejak pemerintahan Cirebon dipimpin Syarif Hidayatullah tahun 1479. Karena itu, tidak mengherankan apabila musafir Portugis, Tome Pires, ketika singgah di tempat ini, mengatakan bahwa Coroboum (Cirebon) merupakan kota yang sudah berpenduduk 1000 orang dengan bandar yang ramai dan sudah melakukan ekspor dan impor barang-barang yang diperlukan. Jika diperhatikan dari segi morfologi, kota Cirebon, baik Kesultanan Kasepuhan maupun Kanoman, mempunyai tatanan letak sebagai berikut: Keraton Pakungwati yang kini tinggal reruntuhannya terletak di bagian selatan, menghadap ke utara dengan tiga pelataran sampai ke alun-alun di sebelah utaranya. Di sebelah barat alun-alun terletak Mesjid Agung, dan di sebelah timur laut terletak pasar. Demikian juga Keraton Kanoman meskipun letak pasarnya di sebelah utara alun-alun. Dari segi morfologi, kota Cirebon tidak berbeda dengan kota-kota pusat kesultanan di pesisir utara Jawa seperti Demak, Banten, dan daerah lain (Uka Tjandrasasmita, 2000: 56-60).
Di Keraton Kesultanan Kasepuhan, yakni di tempat Sultan Sepuh, masih terdapat pelataran: pelataran pertama, kedua, dan yang paling belakang, pelataran ketiga, dengan bangunan keraton. Tiga pembagian pelataran mengingatkan kepada letak kompleks percandian di Jawa Timur masa Kerajaan Majapahit, seperti candi Panataran di daerah Blitar. Nama-nama bangunan, baik yang dimiliki Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon maupun keraton-keraton di Yogyakarta dan di Surakarta (Solo), juga menggunakan istilah lokal Jawa. Keraton Kasepuhan itu sendiri dibagi atas tiga bagian, yakni Pancaniti, Prabayaksa-Paseban sampai dalem, ruangan khusus Sultan. Sitinggil di pelataran depan sebelah kanan mempunyai bentuk-bentuk bangunan dengan gerbang berupa bentuk Candi Bentar. Bangunan-bangunan yang berada di Sitinggil itu ada yang dinamakan dengan Islam, seperti di bagian terdepan yang bertiang 20 dan menjadi tempat sultan dengan para pembesarnya duduk melihat upacara-upacara yang diselenggarakan di alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat umum. Bangunan bertiang 20 itu dihubungkan dengan “sifat dua puluh”. Di atas Sitinggil bagian kanan belakang terdapat bangunan kecil bertiang dua yang disebut Semar Tinandu dan diberi sebutan Islam dengan ucapan Kalimat Syahadat; di bagian kiri belakang bangunan yang bertiang dua puluh ada bangunan bertiang lima Pancapandawa yang dihubungkan dengan Rukun Islam.
Bangunan Masjid Agung di Kasepuhan yang dinamakan Sang Cipta Rasa oleh para Walisanga, juga mempunyai gaya arsitektur khas Indonesia kuno yang mengingatkan pada bentuk meru seperti pada relief-relief beberapa candi di Jawa Timur dan bangunan pura di Bali. Masjid Agung Cirebon yang sekarang atapnya hanya dua, sebenarnya merupakan suatu arsitektur untuk susunan atap tiga. Bagian dalam masjid dibuat dari tembok batu-bata dengan pintu masuk yang besar di tengah; sedangkan di tembok sampingnya dibuat pintu-pintu masuk yang rendah. Mihrab masjid dihiasi unsur-unsur hiasan pola teratai. Jadi, dalam arsitektur masjid dan juga ragam hiasannya lebih cenderung kepada gaya arsitektur pra-Islam.
Ragam hiasan yang terdapat di keraton mempunyai kekhasan bentuk wadasan. Menarik bahwa pada tiang-tiangnya terdapat hiasan pattra dan lainnya. Tetapi dinding tembok Keraton Kasepuhan sekarang banyak dihiasi oleh tegel-tegel delf dan juga piring-piring porselen China. Bagian-bagian tembok bata dan ukiran-ukiran pada tiang-tiang Sitinggil dan Keraton, menunjukan gaya campuran, antara lain geometrik yang memberikan gambar akulade dan jalinan tambang yang agaknya menunjukkan pengaruh ragam hiasan Islam.
Pengaruh kesenian hiasan China terlihat sangat jelas pada hiasan dinding tembok dan gerbang keraton yang menggunakan piring-piring China. Adanya unsur-unsur bangunan bata dan juga hiasan wadas seperti sisia awan, kemudian hiasan teratai dalam bentuk hati, dimungkinkan karena, menurut cerita dalam babad-babad lokal, pernah terjadi bahwa kepala tukang dari Majapahit bernama Raden Sepet, setelah mengerjakan bangunan-bangunan di Demak, juga diminta mengerjakan bangunan Cirebon (Uka Tjandrasasmita, 1975: 93-98; Uka Tjandrasasmita, 1976).
Bangunan lainnya, Guha Sunia Ragi yang dibuat tahun 1703 sebagai tempat peristirahatan Sultan, juga menunjukkan arsitektur gaya China dibuat dari batu karang dan batu yang ditambah dengan pot-pot bunga dan bale kambang dan lorong-lorong yang mengingatkan kita kepada bangunan yang berada di Forbidden City di Beijing, yang saya lihat pada waktu menghadiri seminar Internasional Arkeologi tahun 1983.
Yang menarik adalah bangunan dan tata letak kompleks Makam Sunan Gunung Jati yang serupa dengan sebuah bukit yang dibuat 9 tingkatan. Tingkatan paling atas adalah jinem, yakni bangunan untuk makam Sunan Gunung Jati beserta keluarganya. Menarik perhatian karena, setelah terjadi perpecahan politik, di mana terjadi pembagian Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman, kemudian Kesultanan Cirebon dan Panembahan-Keprabonan, maka tata letak kuburan para Sultan Kasepuhan berada di sebelah kanan yang dipisah oleh jalan bertingkat-tingkat. Sedang di sebelah kirinya untuk kuburan para Sultan Kanoman. Di bawahnya terdapat deretan kuburan Sultan Kacirebonan dan Panembahan Keprabon sampai tingkat tiga. Perpecahan politik ketika di dunia, dibawa setelah di kubur dengan ditempatkan secara terpisah. Ketika belum ada perpecahan politik, sangat jelas masa Sunan Gunung Jati dan beberapa sultan lainnya ditempatkan dalam jinem atau cungkup teratas, seperti halnya di kompleks makam Imogiri yang terpisah, di mana tempat kuburan para Sultan Yogyakarta berada di sebelah kanan, sedangkan kuburan Susuhunan Solo berada di sebelah kiri terpisah oleh sebuah jalan bersama; tempat kubur Sultan Agung Hanykrokusumo berada paling atas (Uka Tjandrasasmita, 1999: 285-300).
Kompleks makam yang dibuat sembilan tingkat itu mungkin pula memberikan simbol sanga, Walisanga; nilai sembilan juga untuk masa sebelum Islam Nawsanga. Sedangkan bukit juga dapat dipandang sebagai meru yang mungkin sekali mempunyai kaitan dengan pikiran bahwa gunung merupakan tempat tinggi ruh-ruh nenek moyang. Seperti halnya sebutan Imogiri untuk Himagiri. Jadi, membuat kompleks makam orang-orang yang dianggap suci di atas bukit-bukit seperti halnya kompleks makam Sunan Giri di Gresik Jawa Timur, kompleks makam Sunan Muria di Solo, atau kompleks makam Sunan Bayat di Tembayat, Klaten, merupakan hal biasa dan mentradisi.
Terakhir adalah kereta-kereta kuno. Di Keraton Kasepuhan terdapat Kereta Singa Barong atau Singa Naga Liman yang menurut Candrasangkala Iku Pandito Buto Rupanane, berarti nilainya 1751 dibaca 1571 Saka, sama dengan 1649 M. Kereta ini, dari segi rodanya, bukan untuk ditarik kuda tetapi oleh sapi. Bentuk itulah yang menyerupai burung, naga, dan gajah dengan penuh ukiran pada sayapnya. Di Keraton Kanoman juga terdapat kereta Paksi Naga Liman yang memuat angka tahun Jawa pada medallion ban lehernya tahun 1350 yang berarti sama dengan 1428 M (Drs. H.B Vos, 1986: 39-42).
2) Wayang dan Topeng
Di Cirebon terdapat wayang kulit dan wayang cepak (papak, menak). Wayang kulit menyajikan cerita-cerita yang diambil dari episode (kisah) Mahabrata dan Ramayana. Wayang cepak menyajikan cerita Panji dan Menak yang mengambil kisah-kisah kepahlawanan Amir Hamzah yang berkaitan erat dengan penyebaran Islam. Wayang cirebon masih kuat dengan ritus-ritus bagi komunitas dan dalang-dalangnya. Faktor yang menunjang ketahanan motivasi ritusnya ialah bahwa komunitas Cirebon ada di antara dua budaya besar, yakni Jawa Tengah (Solo, Yogyakarta) dan Jawa Barat. Demikian pula dari segi bahasa yang khas sebagai Jawa-Cirebon, bertahan untuk jati dirinya.
Ungkapan dalam kesenian, selain pertunjukan wayang, juga dalam topeng Cirebon yang sampai kini pembuatan topengnya masih hidup di Gresik. Selain itu, kekhasan seni yang disebut tarling (permainan gitar dan suling), gamelan Cirebon, kuda lumping, sintren, lais, barongan (bengberokan), lukisan kaca, dan angklung bungko yang kesemuanya sampai kini masih cukup terpelihara keberadaannya (Saini K.M., 1997: 163-167).
Wayang Cirebon termasuk seni yang sangat penting sebagai pengungkap jati diri kecirebonannya. Faktor lain yang mendukung adalah keberadaan keraton-keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan). Ketiga keraton ini, selain menjadi buhul tali pengikat yang menghubungkan masyarakat budaya Cirebon, yang terpenting adalah upacara Panjang Jimat dalam Maulud Nabi Muhammad SAW.
Topeng bukan hanya terdapat di Cirebon, tetapi di mana-mana. Namun demikian, topeng Cirebon mempunyai kekhasannya sendiri. Pertunjukan topeng biasanya dilakukan di siang hari dan dilakukan di desa sampai kota. Dalang topeng, seperti juga dalang wayang, biasanya berasal dari keturunan dan ternyata juga kadang-kadang punya pertalian keluarga. Pertunjukan topeng secara tradisional diselenggarakan untuk merayakan upacara semalaman, khitanan, perkawinan, dan juga pada upacara penting yang kini sudah menipis tetapi masih ada, adalah sedekah bumi, kaulan, dan upacara-upacara keagamaan. Pertunjukan topeng seperti tari Panji, tari Pamindo, tari Patih, tari Tumenggung dan Jingganamon, dan tari Klana, semua itu memerlukan keterampilan tarian masing-masing (Endo Suanda, 1997: 169, 192).
3) Seni Sastra
Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam, dikenal pula dalam bidang seni sastra yang pada umumnya bersifat keagamaan Islam, terutama sejak adanya perkembangan Kesultanan Cirebon. Naskah-naskah kuno (manuskrip) yang berasal dari daerah Cirebon yang dapat dicatat oleh hasil penelitian Pudjiastuti, terdapat lebih kurang 200 naskah. Naskah-naskah dari Cirebon itu sudah dibicarakan pula oleh Agus Arismunandar dan Pudjiastuti sendiri (Agus Arismunandar dan Pudjiastti, 1997: 193-202). Naskah-naskah tersebut ditulis dalam berbagai bentuk penyajian, yakni prosa dan pupuh (macapat, tembang, skema dan gambar-gambar).
Tulisan yang dipergunakan juga bermacam-macam: tulisan Arab bahasa Jawa atau Pegon dan Jawi (tulisan Arab bahasa Melayu). Berdasarkan isinya, naskah-naskah Cirebon dapat ditafsirkan ke dalam 13 kategori jenis sastra. Ketiga belas kategori itu adalah sejarah, silsilah yang umumnya ditulis dalam bentuk skema (wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita Islam, primbon, obat-obatan, mantra, hukum, dongeng, legenda, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori lain-lain, adalah naskah-naskah yang isinya mengenai jimat (biasanya dalam bentuk gambar), adat istiadat, dan pelajaran asmara.
Dari sejumlah 200 naskah yang telah berhasil di data, naskah yang berisi sejarah cukup banyak, yakni sekitar 31 naskah. Naskah sejarah ini tampil dengan judul yang bermacam-macam. Di antaranya yang berbahasa Cirebon adalah Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, Carang Satus dan Carang Sewu. Naskah-naskah yang berisi tentang sejarah Cirebon, antara lain adalah Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah Wangsakerta. Belum lama ini ditemukan sebuah naskah dari Metasinga oleh Amman N. Wahyu dan sudah dialihaksarakan dengan judul Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.
Di Cirebon juga terdapat sejumlah naskah-naskah kuno yang berisi tentang suluk atau tasawuf yang ditulis oleh kalangan ulama dari keraton seperti Pangeran Wangsakerta dan Pangeran Arya Cirebon. Karena itu, keraton-keraton di Cirebon dapat disebut sebagai pusat kebudayaan. Naskah-naskah kuno, baik Mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab fikih, juga sering ditemukan dari pesantren-pesantren antara lain, Pesantren Buntet.
Demikianlah materi tentang Sejarah Cirebon yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Sejarah Banten yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar…!!!