Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 - Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.
|
Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 |
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan asas tunggal Pancasila. Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan penangkapan seorang dari kelompok massa yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat. Komandan yang paling bertanggung jawab atas hal ini adalah mantan wakil presiden Tri Sutrisno yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima KODAM V/Jaya.
Penyebab Kerusuhan Tanjung Priok 1984
Di sekitar Masjid Rawabadak terpasang pamflet dan poster yang menghasut bersifat SARA. Karena imbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, seorang petugas, pada hari jumat tanggal 7 September 1984, menutup tulisan-tulisan yang bersifat menghasut itu dengan warna hitam. Selain itu, Sersan Hermanu melakukan pengotoran mushala dengan menggunakan air comberan dan memasuki mushola tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Hal ini dikarenakan, Hermanu masih melihat poster-poster yang menghujat pemerintah ditempel di Masjid, Penyiraman tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di sekitar mushala. Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian masyarakat sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu, motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu dibakar. Hermanu berhasil diamankan oleh pengurus Masjid.
Sejarah Terjadinya Kerusuhan Tanjung Priok 1984
Tanjung Priok, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh, termasuk sa-lah satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa dan pulau-pulau yang berdekatan guna mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup di kota Jakarta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus kependudukan, Tanjung Priok merupakan dae-rah paling padat, di mana setiap meter persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap malam. (Tim PeduliTapol,: 13).
Koja, sebuah lokasi di mana peristiwa Tanjung Priok terjadi, merupakan daerah hunian kaum buruh galangan kapal, buruh-buruh pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal dengan “pekerja serabutan”. Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di tempat ini. Tanjung Priok sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan mudah sekali tersulut berbagai issu. Penduduknya yang sangat padat, perputaran barang-barang keluar masuk yang dikirim ke tempat- tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain itu, tempat yang sangat miskin ini berdampingan pula dengan rumah-rumah mewah yang dijaga oleh anjing- anjing galak. Padahal daerah ini dihuni oleh berbagai golongan penduduk yang berbeda-beda kulturnya, seperti Banten, Jawa Barat, Madura, Bugis, Sulawesi. Dan semua daerah yang telah disebutkan, sangat dipengaruhi oleh kultur Islam. Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan omongan diantara para jama’ah masjid. Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ah-nya dengan menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab rancangan undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang kontroversial.
Pada suatu hari, 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil bernama “Mushalla As-Sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadual pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu. Keesokanharinya, Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa’adah untuk menyita pamflet berbau ‘SARA’. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur’an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar.(kesaksianAbdul QadirDjaelani)
Pada tanggal 10 September 1984, Beberapa anggotajamaah Mushala As - Sa'adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan mushalla As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan mushalla As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muhammad Nur, salah seorang yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan keempat orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka-mereka yang ditangkap itu.
Pada hari berikutnya, para tetangga mushalla yang masih menyimpan kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira di Jakarta. Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat.Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang isinya menyam-paikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi. Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demonstran bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat. Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, sekonyong-konyong mereka telah dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru.
Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik- cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah beru-saha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya. Sembari tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka- luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny Murdani datang mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.
Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto, di luar keberhasilannya dalam bidang ekonomi, banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah- ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan penguasa. Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan nonpribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah : Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 :26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari senin, 10 September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengatahui nasib keempat orang yang ditahan, masyrakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko, M.Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan. Ia juga berpesan agar selama perjalanan massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat pengajian. Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari. Setelah datang pasukan keamnanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu. Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu tempat.
Versi Abdul Qadir Djaelani
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”. Hari Sabtu tanggal 8 September 1984, dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Hari Minggu tanggal 9 September 1984, peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Hari Senin tanggal 10 September 1984, beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
Hari Selasa tanggal 11 September 1984, Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Hari Rabu tanggal 12 September 1984, dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir- pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan. Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih. Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD). Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang- bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984
Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang. Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam, terutama mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi dengan statemen-statemen cita-cita Negara Islam. Jumlah korban dalam tragedi masih simpang siur. Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Menurut hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban hanya 28 orang. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Hingga kini, peristiwa Tanjung Priok massih menyisakan misteri. Korban yang meninggal tidak diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya,banyak diantara mereka yang menjadi koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.
Demikianlah materi tentang Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Sejarah Kerusuhan Sosial Di Tasikmalaya 1996 yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.