Sejarah Perang Puputan Bayu Di Blambangan Pada 1771 - Perang besar yang terjadi di Bayu merupakan perang bersejarah yang paling bermakna sekaligus penting dalam tonggak lahirnya sebuah kabupaten di wilayah ujung paling timur pulau Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi. Peperangan ini yang merenggut banyak korban antara pihak Belanda dengan pejuang-pejuang Blambangan. Kegigihan pejuang Blambangan yang heroik, patriotik untuk merebut bumi Blambangan dari tangan penjajah mencapai puncaknya pada tanggal 18 Desember 1771 dan terjadilah perang Puputan Bayu sebagai peperangan yang terkejam sepanjang sejarah perang di Indonesia. Hingga kolonialisme menyerah dan lahirlah Banyuwangi sebagai daerah yang bebas dari penjajahan.
Perang Puputan Bayu adalah peperangan yang terjadi di Blambangan wilayah paling ujung timur di Pulau Jawa, yang saat ini bernama Banyuwangi. Perang ini terjadi antara pasukan Belanda VOC dengan pejuang-pejuang Blambangan pada tahun 1771 - 1772 di daerah Bayu, yang sekarang daerah ini masuk daerah kecamatan Songgon. Mayoritas penduduknya adalah suku osing yang mempunyai bahasa khas yaitu bahasa osing. Bahasa ini berbeda dengan Banyuwangi bagian barat yang mayoritas berbahasa jawa biasa.
|
Peta Wilayah Blambangan pada tahun 1596-1774 |
Kejadian ini berawal ketika rakyat Blambangan merasa tertekan atas pemerintahan yang di pimpin oleh kerajaan Bali, dan ingin mendapat kebebasan atas tekanan-tekanan dari Bali. Kemudian rakyat Blambangan mendengar berita bahwa kekuasaan di Blambagan akan diambil alih oleh pihak Balanda melalui VOC. Dari sini rakyat Blambangan mulai mempunyai harapan baru, mereka berfikir bahwa dengan adanya pemimpin baru maka diharapkan akan terjadi perubahan-perubahan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya berbeda dengan apa yang mereka bayangkan. Kejadiannya bertambah buruk. VOC menindas, memperbudak mereka. Sehingga memicu peperangan dan pemberontakkan yang dilakukan oleh rakyat Blambangan.
Peperangan ini merupakan perang terkejam yang pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa ini merupakan peperangan yang sangat menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban jiwa. Dari semua peperangan yang pernah di lakukan oleh Belanda atau VOC di manapun di Indonesia, peperangan di Blambanganlah yang paling kejam (Lekkerkerker, 1923 : 1056).
Bisa di bayangkan pada waktu itu Blambangan dengan jumlah penduduk yang relativ sedikit harus melawan Belanda yang mempunyai pasukan dari mana-mana seperti dari laskar Madura. Persenjataan untuk melawan penjajahpun bisa dibayangkan pasti relatif sederhana dan kalah saing dengan persenjataan dari pihak Belanda. Namun pada perkembanganya pejuang-pejuang Blambangan membuktikan bahwa mereka mampu melawan kolonialisme dan mempertahankan bumi Blambangan dengan darah-darah mereka. Hal ini sangat patut menjadi kebanggan bagi kita semua.
Penyebab Terjadinya Perang Puputan Bayu
Ada beberapa Penyebab terjadinya peperangan ini. Bermula ketika pada tahun1743, secara sepihak terjadi perjanjian yang di lakukan oleh Sunan Paku Buono II dengan pihak Belanda atau VOC yaitu gubernur Jendral Van Imhoff di Surakarta (Sundoro, 2008 : 19). Mereka melakukan sebuah perjanjian tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Blambangan. Perjanjian itu berisi bahwa Paku Buono II sebagai penguasa Mataram pada saat itu melepaskan haknya di Jawa bagian timur yang dimulai dari Pasuruhan.
Sementara itu penyerahan tanah pesisir bagian timur yang di laukukan oleh Paku Buono II kepada VOC mendapatkan kompensasi berupa pembayaran sewa tanah sebesar 20 real setiap tahun. Dengan kata lain Blambangan merupakan tanah yang dikomersilkan oleh Kerajaan Mataram khususnya penguasa pada waktu itu yakni Paku Buono II. Namun di kalangan keraton sendiri merasa bahwa keputusan yang di ambil oleh Paku Buono itu sangat di sayangkan dan menimbulakan keresahan karena daerah pesisir merupakan bagian penting dari sebuah kerajaan, karena pesisir memiliki potensi-potensi yang penting bagi kerajaan (Lekkerkerker, 1923 : 106).
Dari perjanjian tersebut berarti Blambangan sudah berada di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda ataupun VOC. Namun VOC disini tidak langsung melakukan ekspansi ataupun mengotak-atik wilayah tersebut, melainkan VOC mempunyai fikiran lain dengan menjadikan Blambangan sebagai “barang simpanan” yang baru akan dikelola sewaktu-waktu dan kapan saja ketika waktunya dibutuhkan.
Sebelum Belanda datang ke daerah ini, Blambangan sudah di kuasai oleh kerajaan Menguwi dengan penguasanya yaitu Gusti Kuta Bedha dan Gusti Ketut Dewa Kababakan (Sundoro, 2008 : 20). Terlihat dari nama-nama penguasa tersebut bahwa Blambangan sebelumnya di kuasai oleh kerajaan Bali. Memang Bali sendiri merupakan kerajaan yang wilayahnya berdekatan dengan Blambangan. Letaknya hanya dipisahkan oleh lautan yaitu Selat Bali.
Masuknya pengaruh Islam di Jawa pada abad XVIII yang pada saat itu berpengaruh adalah Kerajaan Mataram Islam, membuat kerajaan Bali khawatir akan Blambangan yang merupakan benteng terkhir di Jawa yang dapat di pengaruhi oleh kedatangan Islam. Sebab jika Blambangan hancur dan dapat di kuasai oleh Islam maka pengaruh Mataram akan lebih mudah masuk dan mempengaruhi wilayah-wilayah dari kerajaan Bali. Sehingga pada waktu itu kerajaan Bali berusaha keras melakukan ekspansi-ekspansi wilayah kekuasaannya hingga Nusa Penida, Lombok, Sumba bagian timur, serta menguasai seluruh Blambangan Bagian Barat. Maksud dari semua ini adalah jika sewaktu-waktu Mataram menyerang Bali maka Kerajaan Bali masih mempunyai wilayah untuk melarikan diri dari kejaran musuh (Sundoro, 2008 : 23) .
Faktor lain yang memicu meledaknya perang Puputan Bayu adalah, ketika VOC baru menyadari bahwa Blambangan merupakan wilayah yang berpotensi untuk di lakukanya eksploitasi yang akan memberikan keuntungan terhadap Belanda khususnya VOC. Hal ini di kuatkan oleh kedatangan Bangsa Inggris ke Blambangan. Setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor-kantor daganganya (yang saat ini menjadi kompleks Inggrisan), pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi yang pada saat itu bernama Titra Ganda, Tirta Arum (Ali, 2002 : 18).
Sebenarnya sejak lama orang Inggris telah melakukan perdagangan di Ulupampang mengadakan kerja sama dengan kerajaan Menguwi yang berpengaruh di Blambangan pada waktu itu. Blambangan dengan konsensi memberikan izin kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Kedatangan Inggris di Blambangan ini bersamaan dengan di temukkannya benua Australia oleh pelaut-pelaut Inggris yang berjiwa Pertualang dan pengarung lautan pada abad ke XVIII.
Entah kenapa Belanda baru menyadarinya belakangan, mungkin Belanda terlalu sibuk mengurusi wilayah kekuasaannya yang lain yang lebih menguntungkan. Namun Pada saat itulah Belanda mulai melirik dan tidak lagi menjadikan Blambangan sebagai wilayah simpanan lagi. Kegiatan perdagangan yanga dilakuakan Inggris mulai mencemaskan bagi VOC, di tambah lagi keamanan yang kacau di jalur tepi Laut Jawa yang menjadi jalan utama perdangan VOC. Benar saat itu VOC merasa sangat tergangu oleh kedatangan bangsa Inggris. Hal inilah yang mendorong gubernur VOC Johanes Vos yang berada di Semarang mengeluarkan perintah pada tanggal 12 Agustus 1766 agar melakukan patroli di selat Bali dan sekitarnya (Ali, 2008 : 21).
Pemerintah Belanda mempunyai inisiatif lain untuk menghentikan perdagangan yang di lakukan Inggris, yakni pemerintah Belanda yang ada di Batavia memutuskan untuk menangkap kapal-kapal dagang Inggris, karena dengan di tangkapnya kapal-kapal mereka otomatis mereka tidak bisa melakukan aktivitas perdagangan. Sebab moda transportasi pada saat itu yang cukup berperan adalah kapal. Namun pada saat itu banyak juga pasukan-pasukan Belanda yang menggunakan jalur darat. Belanda juga mengambil elemen-elemen lain yang tidak disukai serta tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah yang di anggap miliknya.
Keadaan inilah yang dirasa sangat genting dan tidak terkendalikan di wilayah Blambangan, maka menjadikan VOC pada tahun 1766 mengirimkan ekspedisi besar-besaran ke daerah Blambangan di bawah pimpinan Erdwin Blanke, yang terdiri dari serdadu-serdadu eropa, 3000 laskar Madura, dan Pasuruan (Ali, 2002 : 22). Dapat dilihat dari jumlah dan dukungan yang di peroleh, Belanda memang pada waktu itu sangat berpengaruh sehingga mempunyai pasukan-pasukan yang siap tempur bahkan penduduk pribumipun ikut serta membantu Belanda. Entah pengaruh apa yang telah diberikan oleh Belanda sehingga rakyat pribumi mau-maunya menyerang ataupun melawan saudara sendiri.
Belanda mengirimkan keperluan-keperluan ekspedisi seperti 25 kapal besar dan beberapa kapal-kapal yang berukuran kecil. Pada tanggal 20 februiari 1767 ekspedisi Belanda dimulai. Mereka mulai bergerak dan berkumpul terlebih dahulu di pelabuhan Kuanyar tepatnya yaitu di Madura. Mereka singgah untuk mepersiapkan kebutuhan peralatan yang di perlukan ketika ekspedisi di mulai ke Blambangan. Seminggu kemudian pada tanggal 27 Februari 1767 Belanda mulai mengerakkan layarnya ke daerah Panarukan dan berhasil mendudukinya dan disana mereka mendirikan benteng pertahanan bagi Balanda.
Pasukan inti dari ekspedisi ke Blambangan ini dipimpin oleh Letnan Erdwijn Balnke dari Semarang. Pasukan ini mulai bergerak melalui jalur darat sepanjang pantai pada tanggal 1 Maret 1767 menuju daerah yang direncanakan sejak awal yakni Blambangan. Setelah menempuh perjalan yang cukup lama yakni 22 hari, akhirnya Belanda sampai juga di Banyualit yang masuk wilayah Blambangan. Belanda mulai melakukan hal-hal yang membuat penduduk Blambangan merasa terusik dan merasa tidak nyaman atas kedatangan mereka. Mulailah pertikaian-pertikaian kecil, Hingga pada akhirnya hal inilah yang menyulut terjadinya pertempuran Puputan Bayu di Bayu yang sekarang masuk Kecamatan Songgon.
Puputan Bayu Sebagi Perang Terkejam Sepanjang Sejarah
Menurut Bahasa osing, bahasa khas yang dimiliki oleh suku osing Banyuwangi, Puput mempunyai arti Habis, jika Puputan berarti Habis-habisan, sedangkan Perang Puputan Bayu berarti perang habis – habisan di daerah Bayu. Seperti yang di jelaskan sebelumnya bahwa Bayu merupakan suatu tempat yang ada di Blambangan pada waktu itu, namun daerah ini sekarang berganti nama menjadi sebuah Kecamatan Songgon yang masuk pada wilayah administrative dari Banyuwangi.
Setelah VOC atau Belanda mendarat dan dapat menduduki Banyualit pada tahun 1767. Kemudian wilayah – wilayah lain yang ada di Blambangan, seperti Ulu Pangoang dan Lateng yang sekarang menjadi sebuah kecamatan yang bernama Rogojampi. Kemudian di tambah lagi gagalnya serangan yang dilakukan oleh rakyat-rakyat Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (yang merupakan putera Wong Agung Wilis) terhadap benteng-benteng bentukan Belanda yang ada di Banyualit.
Sebenarnya pemberontakaan yang terjadi di Blambangan telah dilakukan semenjak kedatangan Belanda di Blambangan. Peperang pertama yang sangat dasyat dilakukan oleh Wong Agung Wilis yang merupakan pejuang tangguh dari Blambangan yang berusaha keras untuk melawan kolonialisme. Hingga terjadilah perang pertama yang dinamakan perang Wilis yang di mulai pada 21 Maret 1767 dan berakhir pada tanggal 18 Mei 1768.
Hal ini merupakan perang semesta di Blambangan melawan kaum penjajah, yaitu kompeni Belanda. Belanda disini dibantu oleh lascar Madura yang ikut menggempur Blambangan hingga hancur. Sekalipun perlawanan yang dilakukan oleh Wong Agung Wilis tidak berhasil mengalahkan VOC namun semangat juang dan kepemimpinnanya yang begitu kharismatik telah mengilhami para pejuang untuk tetap melawan keberadaan Belanda yang ada di Blambangan (Arifin, 2008 : 47).
Semenjak kekalahan tersebut Blambangan dikuasai oleh Belanda melalui tangan VOC mereka mulai membentuk kekuasaan yang sewenag-wenang dengan sistem kekerasan yang pastinya akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat Blambangan pada waktu itu. Mereka melakukan eksploitasi terhadap potensi-potensi yang ada di Blambangan, kemudian melakukan kekejaman terhadap penduduk lokal. Melalui sistem dan kekuasaan VOC pada waktu itu mereka memiliki kekuatan untuk menghancurkan berbagai perlawanan yang di lakukan rakyat Blambangan. Seperti sistem pada masa orde baru, VOC juga sebenarnya telah membuat system rezim otoriter demi kepentingan politik dan ekonominya.
Dengan sistem diatas pasti akan mampu menekan penduduk yang ada dan pastilah akan tunduk sehingga segala bidang dapat di monopoli dengan mudah oleh VOC. Saat itu VOC masuk ke dalam urusan politik dengan semangat berdagang. Hal ini bermula pada nafsu monopoli. Keberhasilan monopoli dagang yang telah dilakukan VOC kemudian dilanjutkan dengan melakukan ekspansi. Mereka memanjakan penguasa penguasa lokal pada waktu itu dengan tujuan kenyamanan ekonomi, utamanya untuk berperang dan meluaskan kekuasaan menghadapi rival-rivalnya.
Cara-cara yang dilakukan VOC pada saat itu menciptakan jurang pemisah antara kehidupan penguasa dengan rakyat, untuk kepentingan ekonominya Belanda melakukan strategi Devide Et Empera. Mereka menebar bibit konflik untuk mensukseskan VOC sebagai organisasi perdagangan milik hindia Belanda. Strategi ini dapat mempengaruhi beberapa penguasa yang mulai menaruh percaya atas muslihat yang di lakukan VOC, ketika pangeran Danuningrat mulai memerintah Blambangan ia meminta pada penguasa Belanda untuk mengusir dan mengakhiri pengaruh kekuasaan Bali di tanah Blambangan (Sundoro ; 2008: 24).
Maka mulalilah praktik-prakti sistem yang paling mengerikan terjadi yang di lakukan oleh Belanda terhadap rakyat-rakyat Blambangan pada waktu itu. Berbagai kekejaman VOC di wilayah Blambangan telah ditunjukkan oleh Mayor Colmond yang menggantikan Coop a Groen. Sebagai komandan tertinggi VOC di Blambangan (Sundoro, 2008 : 24). Ia merupakakan sosok penjajah yang memiliki sifat dan watak yang sangat keras dan tegas.
Tindakan – tidakanya itu telah membuat dasar bagi timbulnya peritiwa-peristiwa yang mengerikan yang akan mengancam keselamatan negeri ini pada tahun-tahun 1771 dan 1772. Dari tindakan yang di lakukan Colmond ini terjadilah kesengsaraan dimana-mana. Rakyat Blambangan hidup dalam tekanan-tekanan baik secara sosial maupun ekonomi.
Van Wikkerman bercerita dan sesungguhnya dokumen-dokumen resmi telah membenarkan bahwa Colmond mengirimkan patroli-patroli ke seluruh negeri ini untuk menyita semua beras-beras dan bahan makanan lainnya dan pengakutnya sekaligus. Apabila tidak di angkut maka dia menyuruh membakarnya. Pada musim hujan berikutnya dia memerintah penduduk lokal untuk menanami sawah-sawah itu kembali, dengan perintah yang memaksa, Setelah mereka panen maka panenyapun harus di berikan pada VOC ( Ali, 2002 : 2 ).
Kekejaman juga dilakukan oleh para penguasa VOC terhadap wanita pribumi, terhadap gadis, janda, bahkan istri orang. Mereka melakukan pelecehan-pelecehan yang sangat tidak manusiawi. Dari kekejaman di atas dapat dibayangkan penduduk Blambangan berada dalam tekanan dan bahkan kelaparan yang amat sangat. Kebutuhan pokok yang dapat menghidupi merekapun di rampas oleh pihak Belanda melalui tangan VOC. Namun hal ini hanyalah satu dari berberapa kekejaman yang telah dilakukan oleh Balanda di Blambangan. Selain itu Colmond menyuruh rakyat bekerja keras untuk membangun dan memperkuat benteng VOC yang ada di Ulupangpang dan Kuta Lateng.
Mereka juga memerintahkan rakyat Blambangan membuat jalan-jalan yang di peruntukkan demi kepentingan Belanda semata. Membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulu Pangpang, kemudian membuat penagkis air di Gunung Ikan untuk pengawasaan atas gerak gerik yang di lakukan oleh orang-orang Bali. Tetapi ironinya, pengorbanan yang dilakkukan oleh rakyat Blambangan tidak di imbangi dengan imbalan berupa makanan. Belanda tidak menyediakan makanan bagi mereka. Kesengsaraan, kelaparan, serta kekurangan yang kemudian menimbulkan penyakit dan berakhir pada kematian yang sangat tinggi. Banyak dari rakyat yang tidak tahan atas perlakuan Belanda kepada mereka dan akibatnya banyak rakyat Blambangan yang melarikan diri dan bersembunyi ke hutan ( Lakkerkerker, 1923 : 1054-1055 ).
Penetrasi VOC semakin berat ketika keadaan di Blambangan bertambah parah dengan dikeluarkannya perintah bahwa setiap lurah harus menyerahkan dua ekor kerbau, selain itu VOC juga menuntut penyerahan uang sebesar 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga yang harus diserahkan pada akhir tahun. Hal ini dirasa sangat memberatkan rakyat Blambangan sebab di tenggah sedikitnya waktu untuk ke ladang dan sawah karena kewajiban mereka untuk kerja paksa dan itupun tanpa memperoleh upah dan makan.
Tindakan Belanda yang sewenag-wenang dan kejam menyebabkan kebencian rakyat dimana-mana. Hingga pada tanggal 18 Desember 1771 yang merupakan puncak dari apa yang dikatakan oleh Belanda sendiri sebagi “De Dramatische Vernieting Van Het Compagniesleger“. Pejuang-pejuang Blambangan melakukan serangan umum secara “Puputan” atau dalam bahasa Indonesia perang secara habis-habisan terhadap benteng pertahanan musuh.
Para prajurit Blambangan maju ke medan perang secara serentak dengan berteriak-teriak histeris untuk membangun semangat juang mereka dan meruntuhkan semangat musuh, dengan membawa senjata apa adanya seperti keris, golok, pedang, tombak, dan senjata api yang mereka peroleh dari hasil rampasan dari tentara VOC atau yang di dapat dari orang-orang Inggris yang telah membuka kantor dagangnya di Tirtaganda. Pangeran Repeg (Jagapati) memimpin peperangan ini, ia selalu berada di garis depan untuk menyerang. Namun ia gugur dalam pertempuran akibat luka-luka dalam perang Puputan Bayu ini. Dalam peperangan ini pasukan VOC benar-benar di hancur luluhkan. Sebagian dari mereka digiring ke parit-parit jebakan yang telah sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Blambangan untuk menjebak para penjajah kemudian menghujaminnya dengan senjata dari atas.
Van Schaar, yang merupakan komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinned dan tak terhitung banyaknya tentara Belanda lainnya yang terbunuh dalam peperangan tersebut. Kepala Van Schaar dipotong, kemudian ditancapkan pada ujung tombak dan diarak keliling desa-desa. Sebagi akibat perang Puputan tersebut. Untuk sementara menunggu bantuan tenaga dan amunisi, VOC bertindak defensive, dengan berusaha menutup jalan keluar dan kedalam Blambangan, baik di darat maupun di Selat Bali. Kepala Schophoff diperintahkan oleh atasanya Van Den Burgh, agar memperlakukan rakyat Blambangan dengan lemah lebut (Ali, 2002 : 6). Hal Ini merupakan salah satu strategi dari pihak Belanda untuk melakukan serangan-serangan yang akan mengejutkan masyarakat Blambangan saat itu.
Benar pada tanggal 11 Oktober 1772 Bayu digempur habis-habisan dengan tembakan-tembakan meriam oleh Belanda. Heinrich dengan 1.500 pasukannya menerobos dan meyerang benteng Bayu dari sayap kiri. Setelah melalui pertempuran sengit akhirnya Bayu dapat direbut VOC. Namun peristiwa ini hanya merenggut sedikit korban, karena sebagian dari pejuang Bayu telah sempat menyingkir ke hutan. Pejuang pejuang Bayu yang tertangkap diperintahkan oleh Heinrich untuk dibunuh.
Kemudian kepalanya dipotong dan digantung – gantungkan di pohon-pohon atau ditancap-tancapkan di tonggak pagar di sepanjang jalan desa. Dari jumlah 2.505 orang yang merupakan sisa dari pejuang-pejuang Bayu laki-laki maupun perempuan di tawan dan di bawa ke Ulu Pangpang, atas perintah Schophoff. Tidak sedikit yang di hukum mati dengan menengelamkan mereka menggunakan pemberat batu ke laut, ada yang di siksa, dirajam, dan sebagian di buang ke Surabaya atau Batavia untuk dijadikan sebagi budak (Ali, 2002 : 7).
Itulah akhir dari sebuah peperangan habis-habisan yang sangat mengerikan yang telah merenggut ribuan bahkan puluhan ribu korban. Baik dari pihak musuh dan terutama dari pihak rakyat Blambangan. Dan inilah gambaran tragis dari taktik “Devide Et Impera” Belanda terhadap rakyat Blambangan.
Akibat Dari Perang Puputan Bayu
Dampak – dampak yang di timbulkan dari perang puputan bayu ini bermacam-macam, dari yang mulai dampak kecil hingga yang besar. Akibat besar dari meledaknya perang Puputan Bayu adalah lahirnya sebuah kabupaten yakni Banyuwangi, dengan tanggal penetapanya yaitu 18 Desember 1771. Menurut data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang kiranya patut untuk dianggkat sebagai hari jadi Banyuwangi.
Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu sebenarnya sudah ada peristiwa lain yang mendahuluinnya, yang juga heroik dan patriotik, yaitu peristiwa penyerangan pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (Putra Wong agung Wilis) ke benteng VOC di banyuali pada tahun 1768. Namun sayang peristiwa ini tidak tercatat secara lengkap pertanggalanya. Selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut pejuang Blambangan kalah total. Pada kejadiaan ini pangeran Puger gugur melawan VOC, sedangkan ayahnya yakni Wong Agung Wilis setelah Lateng di hancurkan kemudian ia terluka dan di tanggkap kemudian diasingkan dibuang ke Pulau Banda.
Akibat lain yang sangat tragis yang juga sangat merugikan rakyat Blambangan adalah peperangan di Bayu ini telah memakan korban tidak kurang 60.000 rakyat Blambangan yang gugur, hilang, ataupun yang menyingkir ke hutan untuk menyelamatkan diri dari VOC. Tampaknya jumlah dari korban ini dirasa begitu besar, sebab jika dilihat dari jumlah penduduk Blambangan pada waktu itu di seluruh daerah Blambangan berjumlah 65.000 orang (Anderson, 1982 ; 75-76). Untuk merebut Blambangan khususnya untuk perang Bayu ini VOC sendiri telah menghabiskan delapan ton emas yang merupakan pukulan telak terhadap keuangan VOC pada waktu itu.
Heroisme Pejuang Blambangan Yang Terlupakan
Perang Puputan Bayu seperti halnya perang kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memberikan pelajaran kepada kita semua sebagai penerus pejuang-pejuang yang telah gugur membela negeri ini, bahwa betapa mahalnya arti sebuah kemerdekaan bagi suatu bangsa. yang seringkali harus direbut dan dipertahankan dengan cara apapun yang ada pada kita. Harta, benda, keluarga, bahkan jiwa dan darahpun direlakan demi nusa tercinta.
Ini pula yang di tunjukkan oleh para pejuang-pejuang Blambangan untuk menghadapi VOC pada perang Puputan Bayu tahun 1771 hingga 1772 yang hampir menghabiskan penduduk Blambangan. Namun ironisnya sejarah ini nyaris tidak di ketahui oleh pemuda pemudi asli Banyuwangi. Setelah saya melakukan wawancara dengan lima narasumber hanya dua dari mereka yang mengetahui apa itu puputan bayu, dan jawaban itupun tidak mendetail. Sedangkan ketiga narasumber saya memberikan keterangan bahwa mereka tidak mengerti apa yang di maksud dengan perang Puputan Bayu dan malah berbalik tanya kepada saya.
Dari keterangan - keterangan narasumber, banyak dari mereka yang memberikan keterangan yang kurang mengenai perang Puputan bayu. Ironi memang bila mendengarnya, pejuang - pejuang yang habis-habisan membela Blambangan tempat mereka tinggal tapi mereka tidak mengetahui kejadian itu. Esensi penting bagi kita yaitu memulihkan kesadaran bahwa Blambangan juga pernah menunjukkan ketangguhannya melawan Imperialisme yang ingin menguasai bumi Blambangan. Hal ini perlu dikenalkan pada generasi muda tanah air guna menumbuhkan rasa patriotik pada setiap insan muda.
Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbanggalah kita kepada Indonesia, karena kita Blambangan telah menunjukkan dalam sejarah bahwa kita bukanlah rakyat Blambangan yang gampangan untuk menyerahkan kemerdekaan dan harga diri kita pada penjajah. Semoga penerus pejuang Blambangan selalu tetap mengenal, mengenang dan menjadikan suri tauladan atas peristiwa Perang Puputan Bayu yang Heroik Patriotik.
Demikianlah materi tentang Sejarah Perang Puputan Bayu Di Blambangan Pada 1771 yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Jangan lupa tinggalkan komentar..!!!!