Sejarah Al Quran - Dalam catatan sejarah Islam, perkembangan Islam dalam berbagai bidang dan sub bidang. Di mulai dari masa kelahiran Nabi serta silsilah keluarganya. Selanjutnya, pembahasan sejarah Islam pada titik masa Kenabian yang di lanjutkan oleh para sahabat Khulafa’ rasyidin, Bani Umayyah dan sebagainya hingga masa kontemporer. Tapi, yang menjadi catatan kecil yang sangat disayangkan (selain dari pencapaian Islam di masa perkembangannya yang hanya tersimpan di perpustakaan) adalah “Sejarah Al-Qur’an; dari masa Rasulullah hingga Usman r.a.”. Dari semua pembagian periode yang membahas tentang Sejarah Islam hanya sedikit yang membahas tentang Al-Qur’an. Bukankah disebutkan bahwa sumber segala sumber dalam Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan sumber pemecahan dengan menggunakan akal.
|
Sejarah Al-Quran |
Pembahasan Al-Qur’an sangat menarik untuk dibahas tanpa mengindahkan Sejarah Islam itu sendiri karena dalam sejarah Islam terdapat beberapa tulisan yang membahas tentang Al-Qur’an secara singkat dan kurang jelas. Dalam penulisan tentang Al-Qur’an sangat jarang di terangkan mengapa suraht-surat yang diturunkan di Makkah memakai “yaa ayyuhal kafirun” sedangkan surat-surat yang diturunkan di Madinah memakai “yaa ayyuhan nash”, perbedaan mungkin biasa dilihat oleh kalangan banyak tapi hanya sedikit mengetahuinya. Selain dari perbedaan surat tersebut, penulisan-penulisan tentang jumlah ayat Al-Qur’an yang berbeda ada yang menyebutkan bahwa jumlah ayat dalam Al-Qur’an 6.666 dan adapula yang menyebutkan 6.236 ayat dalam Al-Qur’an.
Buku Sejarah dan Kebudayaan Islam yang ditulis oleh Hassan Ibrahim ini, memberikan kejelasan tentang Islam melalui pandangan sejarah dan kebudayaan. Islam di aspek sejarah dilihat sebagai suatu penguat kebudayaan saat ini. Begitu pun buku ini melihat suatu ajaran dalam islam di jadikan suatu kebudayaan yang dilestarikan tiap tahunnya.
Buku Yusri Abdul Ghani Abdullah berangkat dari adigum popular yang menyatakan “Siapa yang tidak memiliki masa lalu (baca; sejarah), maka ia tidak memiliki masa depan”. Dari adigum tersebut kita mungkin dapat menebak isi dari buku ini. Yusri Abdul Ghani Abdullah memaparkan perkembangan Islam dalam bidang sejarah. Buku ini melihat dalam perkembangan Islam yang pesat melahirkan orang-orang besar sangat banyak.
Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya berisikan suatu kajian tentang manusia terhadap Islam. Kajian yang dilakukannya dengan cara melihat manusia pada masa sebelum Islam dan sesudah Islam datang yang mencapai peningkatan. Namun pada saat Islam memasuki masa kemunduran, manusia tidak mengalami kemunduran. Manusia yang tidak mengalami kemuduran tersebut, dalam kajian ini diyakini telah memiliki aspek keyakinan, hokum, etika, moral, dan pranata-pranata Islam yang telah diserap oleh Masyarakat. Singkatnya buku ini melihat “kebutukan manusia akan Islam”.
Buku karangan Zainuddin Ali mengkaji Islam dari segi ajaran secara tekstual dan kontekstual yang didalamnya telah memuat beberapa aspek sejarah terlebih lagi Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam. Sedangkan H.A. Sadali dkk yang menulis Islam untuk disiplin ilmu Pendidikan terbitan Depertemen Agama RI tersebut, menyajikan kaitan Islam dan pendidikan. Untuk mempermudah khalayak dalam memahaminya, Sadali dkk membagi tema dalam setiap petemuan. Di pertemuan IV, Sadali dkk hanya memberikan penjelasan Al-Qur’an dari segi bahasa maupun Istilah.
Dari sekian buku-buku tentang Islam dengan kajian berbagai aspek tersebut, tidak memberikan penjelasan secara menyeluruh terlebih lagi secara otentik. Padahal dalam sumber utama mereka adalah Al-Qur’an. Tidak hanya buku-buku di atas, buku Sejarah Islam karangan Misnah S.pd. M.pd. memaparkan sejarah Islam kedalam tiga bab dengan sub bab kurang lebih berjumlah tiga puluhan. Namun dari semua pembahasan di buku ini tidak ada yang membahasa Al-Qur’an baik proses diturunkannya maupun perbedaan cara membaca Al-Qur’an itu sendiri.
A. Kajian Pustaka
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut penelitian Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan". Hal ini dapat dilihat secara seksama dalam pembagian Al-Qur’an secara bahasa maupun istilah. Dari segi kebahasaan, sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'ah yang artinya membaca. Sedangkan dari segi Istilahnya sendiri adalah Kitab Suci umat Islam yang ditunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Demikian Al-Qur’an menurut bahasa maupun istilah yang dapat memudahkan kita dalam memahami apa itu Al-Qur’an.
Susunan Al-Qur’an yang sekarang tidak mencerminkan urutan-urutan waktu turunnya, sebab ayat yang diturunkan pertama kali ialah surat Al-Alaq yang terletak di akhir-akhir juz tiga puluh, sedang ayat terakhir yang diturunkan ialah tiga ayat dari surat Al-Maidah yang terdapat pada juz ketujuh. Al-Qur’an di turunkan dalam tempo 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW, sampai 9 Dzulhijjah pada saat Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H. Melihat jumlah ayat dalam Al-Qur’an yang kurang lebih 6.000 dengan tempo sebagai mana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan beransur-ansur dan bertahap. Tahap diturunkan Al-Qur’an sebagai berikut:
Pertama, malaikat jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad.
Kedua, malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Nabi dalam rupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan menghafalnya.
Ketiga, wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincingan lonceng sehingga cara ini dirasakan beliau sebagai cara menerima wahyu yang sangat berat.
Keempat, malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Nabi dengan rupanya yang asli.
A. Perbedaan Jumlah Ayat dalam Al-Qur’an
Semua mungkin sepakat jikalau dikatakan bahwa Al Qur’an dengan surat 114 itu diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Namun, para tokoh agama, baik ulama maupun para ustadz (da’i) belum memiliki kesepakatan yang pasti dalam pembahsan jumlah ayat Al-Qur’an. Wahbah Al-Zuhayli menyakan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an sebanyak 6.666 ayat, hal ini juga pernah dikatan oleh Ust. Amri dalam ceramanya. angka 6.666 memang sangat mudah untuk di ingat. Akan tetapi, bernarkah jumlah dari ayat Al-Qur’an sebanyak itu? A. Hanafi memiliki jumlah ayat Al-Qur’an yang lebih rendah sedikit dengan jumlah ayat 6.342, dan yang lebih rendah lagi jumlahnya disampaikan Rois Mahfud dalam bukunya yang berjudul “Al-Islam; Pendidikan Agama Islam” dengan jumlah 6.236 ayat Al-Qur’an. Dari ketiga hitungan jumlah ayat Al-Qur’an tersebut, yang manakah paling benar?
Untuk menghindari “Ragu meragukan” kami menghitung kembali jumlah ayat Al-Qur’an. Untuk mengetahui jumlah ayat pada Al-Qur’an, kami mehitung secara manual dan berulang-ulang setiap surat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an yang kami gunakan adalah terbitan Jumanatul ‘Ali-Art (J-ART) dengan halaman 605 + muqaddimah dan penutup berjumlah 7 halaman. Pada perhitungan menggunakan MicrosoftEcxel jumlah ayat Al-Qur’an 6.276, akan tetapi jika kita menghitung setiap basmalah yang terdapat diawal-awal surat akan mencapai jumlah 6.389. Selain itu kami menghitung kembali secara manual yang berulang-ulang dengan hasil 6.276. Jumlah ini di dapatkan dengan rincian bahwa surat pertama sampai surat kedua puluh delapan memiliki ayat 3.380; surat kedua puluh Sembilan sampai surat kelima puluh tujuh dengan jumlah 1.764 ayat; dan surat kelima puluh delapan sampai surat kedelapan puluh lima, hasilnya 827 ayat; sedangkan surat kedelapan puluh enam hingga surat terakhir (surat ke 114 “an-nash”) berjumlah 305 ayat Al-Qur’an. Kalau pun semua basmalah yang mengawali surat dihitung akan mencapai hasil 6.389. Hasil perhitungan inilah yang kami gunakan dalam mengetahui jumlah ayat Al-Qur’an.
B. Periode diturunkannya Al-Qur’an
Pada sub ini, akan dibahasa periode turunnya Al-Qur’an agar mendapat tambahan kejelasan. Umumnya para ulama “Ulum Qur’an” membagi membagi periode (baca; sejarah) turunnya Al-Qur’an dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama inilah dinamakan ayat Makkiyah, sedangkan ayat yang turun pada periode kedua tersebut, dinamakan ayat Madaniyyah.Tetapi dalam makalah ini akan di uraikan dalam tiga periode, walaupun pada hakikatnya periode pertama dan kedua menggunakan kumpulan ayat-ayat Makkiyah, dan pada periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pada dasarnya pembagian ini hanya bertujuan untuk memberikan kejelasan turunnya Al-Qur’an.
Periode Pertama
Pada awal diturunkannya Al-Qur’an, Muhammad suami khadijah menerima wahyu pertama, yaitu; surat Al-Alaq (iqra’). Dengan diterimanya wahyu pertama tersebut, Muhammad dilantik menjadi Nabi sekaligus Rasul utusan Allah, dan perlu diketahui bahwa pada saat penerimaan wahyu pertama tersebut, nabi belum ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterimanya. Setelah wahyu kedua diterima oleh Nabi, barulah ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang beliau terima.
Dari wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi pada periode pertama ini, berkisar pada tiga hal; (1) Pendidikan bagi Rasulullah, dalam bentuk kepribadiannya; (2) Pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai; (3) Keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta kritikan secara umum terhadap pandangan hidup masyarakat Jahiliah ketika itu;. Batasan waktu untuk periode ini sekitar 4-5 tahun kenabian. Setiap ada aksi (wahyu yang disampaikan oleh Nabi) tentunya ada reaksi (orang-orang Jahiliah) yang ditimbulkan. Reaksi-reaksi orang Jahiliah tersebut dapat digariskan sebagai berikut;
1. Sebagian kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Qur’an.
2. Sebagiannya lagi yang lebih besar menolak ajaran Al-Qur’an tersebut, karena kebodohan mereka.
3. Dakwah Al-Qur’an mulai melampaui perbatasan Makkah menujuh daerah-daerah sekitar.
Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Qur’an berlangsung selama 8-9 tahun, di mana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan kaum Jahiliah. Kaum Jahiliah sebagai Gerakan Oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan system untuk menghalangi dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi, dan penganiayaan yang mengakibatkan penganut ajaran Al-Qur’an ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan pada Akhirnya mereka semua – termasuk Rasulullah – berhijrah ke Madinah. Perlu diketahui bahwa di periode inilah Al-Qur’an memblokade paham-paham Jahiliah dari segala segi, sehingga mereka tidak lagi mempergunakan rasio dan alam pikiran sehat sebagai bukti Al-Qur’an adalah firman dari Allah.
Periode Ketiga
Berijrahnya Rasulullah dan ummatnya keluar dari Makkah sebagai awal memasuki periode ketiga yang berlangsung selama 10 tahun. Di periode ini ajaran Al-Qur’an mengalami perkembangan karena penganut-penganutnya dapat menjalankan ajaran-ajaran agama dengan bebas di Yastrib (kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Disinilah bermunculan peristiwa, permasalahan, maupun persoalan yang dijawab oleh Al-Qur’an. Terdapat berbagai ayat yang diturunkan Allah disini, diantaranya; sikap terhadap orang-orang kafir, membangkitkan semangat, adapula perintah-perintah yang tegas, bimbingan kepada ummat muslim dan sebagainya.
Secara spesifik Wahbah al-Zuhayli dalam Moh. Amin Suma memilah-milah ayat Al-Qur’an dari ketiga periode di atas sesuai isi kandungannya, sebagai berikut;
1. | Ayat-ayat tentang Al-amr (perintah) | = 1.000 |
2. | Ayat-ayat tengtangal-nahyu (larangan) | = 1.000 |
3. | Ayat-ayat tentang al-wa’du (janji baik) | = 1.000 |
4. | Ayat-ayat tentang al-wa’id (ancaman buruk) | = 1.000 |
5. | Ayat-ayat tentang kisah dan al-iqhbar (kisah dan berita) | = 1.000 |
6. | Ayat-ayat tentang al-ibar dan al-matsal (ibarat dan perumpamaan) | = 1.000 |
7. | Ayat-ayat tentang hukum halal dan haram | = 500 |
8. | Ayat-ayat tentang do’a | = 100 |
9. | Ayat-ayat tentang nasikh-mansukh | = 66 |
| Jumlah | = 6.666 |
C. Keotentikan Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr [15]: 9 yang berbunyi “Inna nahnu al-dzikra wa inna lahu lahafizhun” (sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah pemelihara-pemelihara-Nya). Dari ayat tersebut, Allah telah memberikan jaminan yang pasti akan keotentikan Al-Qur’an itu sendiri. Namun, dipandang perlu kiranya kami masukkan beberapa alasan konkrit atas keotentikan dari Al-Qur’an itu sendiri agar memudahkan kita dalam memahaminya. Alasan-alasan keotentikan Al-Qur’an yang dimaksud, sebagai berikut:
a. Bahwa Al-Qur’an, baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah. Adapun Nabi Muhammad sebagai utusan dari Allah untuk menyampaikan kepada manusia.
b. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw dengan lafadz dan ushlub (gaya bahasa) bahasa arab.
c. Bahwa Al-Qur’an telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang faedahnya qath’I dan ketetapannya sah.
Demikianlah alasan-alasan akan keotentikan Al-Qur’an kami sebutkan. Namun ada baiknya kami mengutip pula pendapat Ulama yang menyatakan bahwa “…Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini”. Pernyataan serupa juga dilakukan oleh Fazlur Rahman dengan mengatakan “…seseorang tidak bisa menunjukkan satupun karya etik yang secara jujur di dasari oleh Al-Qur’an meskipun ada banyak karya yang didasari oleh Filsafat Yunani, Tradisi Persia, dan Kesalehan Sufi…”. Kedua ulama tersebut menekankan bahwa bukti kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an tak mungkin bisa disamai, terlebih lagi terlampaui. Karena Al-Quran memiliki kebalaghoan dan kefashehan yang amat tinggi, Hukum dan makna-maknanya teratur (saling merangkai satu sama lain), memberitakan peristiwa masa lalu dan perkara-perkara yang akan datang, mengandung rahasia dan hakekat alam, dan sebagainya. Dari kandungan-kandungan Al-Qur’an pulalah, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tidak dikhususkan pada suatu bangsa (arab) maupun pada masa diturunkannya.
D. Hikmah, Fungsi, dan Tujuan diturunkannya Al-Quran
Diturunkannya Al Qur’an secara beransur-ansur dalam kurun waktu sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan, dua puluh dua hari, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus.
Sedangkan fungsi di turunkannya Al-Qur’an dimuka bumi ini adalaha:
1. Sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa dan manusia secara keseluruhan agar mereka berada di jalan yang lurus, petunjuk kebenaran yang mengeluarkan manusia dari kegelapan.
2. Pembeda antara yang haq dan yang bathil, baik dan buruk.
3. Sebagai peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.
4. Sebagai obat atau penawar racun bagi penyakit kejiwaan.
5. Sebagai nasihat bagi manusia.
6. Sumber ilmu pengetahuan bagi orang yang mau menggunakan akal pikirannya untuk merenungi ayat-ayat Allah SWT baik qauliyyah maupun kauniyah.
Dalam penjelasan diatas kita dapat mengetahui hikmah dan fungsi diturunkannya Al-Qur’an. Namun, dalam buku karangan M. Quraish Shihab terdapat tujuan diturunkannya Al-Qur’an, yang terselib dalam sub bab “Tujuan Pokok Al-Qur’an”, tujuan tersebut sebagai berikut:
1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3. Petunjuk mengenai syariat dan hokum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hokum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidupdi dunia dan di akhirat”.
E. Penulisan Al-Qur’an
1.Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Intisari ajaran Islam adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sedangkan Hadits dan As-Sunnah merupakan penjelasan dari apa-apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an itu sendiri. Untuk mempermuda ummat Islam dalam memahami dan mengerjakan perintah dalam Al-Qur’an, Nabi memberikan contoh bagaimana melaksanakan dan mempraktekkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari pada masa itu.
Sejak turunnya wahyu pertama Rasulullah menngunakan metode hafalan dalam dalam memelihara dan menyampaikan kepada ummat Islam, begitupun yang di lakukan oleh sahabat-sahabat beliau. Namun dalam perkembangan Al-Qur’an, Nabi tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Setiap ada ayat yang turun, Rasulullah memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menulisakan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Ayat-ayat tersebut mereka(para sahabat) tulis pada ‘usub (pelepah kurma), likaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta) dan aqtab(bantalan dari kayu yang biasa dipakai dipunggung unta).
2.Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
a.Pada Masa Abu Bakar
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar dilantik sebagai Khalifa yang memimpin ummat Islam menggantikan Rasulullah. Perkembangan Islam pun meluas dan diterima hingga di Negara-negara di luar bangsa Arab. Seiring perkembangan Islam itu, terjadi berbagai peperangan, seperti perang Yamamah. Dalam peperangan tersebut, ummat Islam banyak berguguran termasuk para sahabat yang menghafalkan Al-Qur’an. Hal ini lah menjadikan Umar bin HKattab menjadi risau tentang “masa depan Al-qur’an”. Karena itu, beliau mengusulkan kepada khalifah abu bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa rasul. Walaupun pada mulanya ragu menerima usul tersebut dengan alasan bahwa pengumpulah semacam itu tidak dilakukan oleh rasul Saw. Namun pada akhirnya Umar dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membantu suatu tim yang diketuai oleh Zaid binTsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.
Kepanitian yang dibentuk oleh Abu Bakar yang diketuai oleh Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan Al-Qur’an tersebut, menempuh berbagai cara, seperti mengumpulkan sahabat yang menghafal Al-Qur’an itu sendiri maupun mengumpulkan tulisan-tulisan pada masa Rasulullah yang masih berserakan. A. Syalabi dalam Zuhairini, dkk. Menguraikan percakapan Umar bin Khattab sebagai pengusul dan Abu Bakar sebagai khalifah ummat Islam, serta Zaid bin Sabit selaku juru tulis dari masa Rasulullah, sebagai berikut:
Umar berkata kepada Abu bakar: “Dalam peperangan Yamamah para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak gugur. Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an itu perlu dikumpulkan”.
Abu Bakar menjawab: “Mengapa kau akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?”
Umar menegaskan: “Demi Allah. Ini adalah perbuatan yang baik!”
Dan ia beruangkali memberikan alasan-alasan kebaikan pengumpulan Al-Qur’an ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar itu. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Sabit dan berkata kepadanya: “Umar ingin mengajakku mengumpulkan Al-Qur’an”. Lalu diceritakannya segara pembicaraan yang terjadi antara dia dengan Umar.
Kemudian Abu Bakar berkata: “Engkau adalah seorang pemuda cerdas yang kupercayai sepenuhnya. Dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur’an”.
Zaid menjawab: “Demi Allah. Ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Qur’an yang engkau perintahkan itu”.
Dan ia berkata selanjutnya kepada Abu Bakar dan Umar: “Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi Muhammad?”.
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah. Ini adalah perbuatan yang baik”.
Ia lalu memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an itu, sehingga membukakan hati Zaid.
Kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing, dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Setelah terkumpul seluruh ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun menurut susunan dan urutan sebagaimana yang ada pada hafalan mereka, kemudian dituliskan kembali dalam lembaran-lembaran yang seragam, dan diikat menjadi satu mushaf. Demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa Khalifah Abu Bakar inilah Mushaf pertama lahir.
b. Pada masa utsman bin Affan
Setelah Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, kekhalifaan di pegang oleh Umar bin Khattab, namun kejadian naas menimpah khalifah kedua tersebut. Disaat memimpin sholat subuh, Khalifah Umar bin Khattab dibunuh oleh seorang budak suruan musuh dengan cara ditikam. Kekosongan kepemimpinan Islam pun terjadi, untuk mengisi kekhalifaan itu. Di pilihlah beberapa orang terkemuka untuk menjadi Khalifa, diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Awf, Zubair dan Zaid bin Abi Waqqas, sebenarnya ada enam kandidat akan tetapi Talhah tidak datang dalam pemilihan tersebut.
Dalam pemilihan kekhalifaan tersebut, Usman bin Affan terpilih sebagai Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab yang telah meninggal. Namun, dikalangan orang-orang besar arab pada saat itu meragukan kepemimpinan Usman yang mudah di pengaruhi oleh Baninya sendiri. Ditambah lagi pertentangan antara Usman bin Affan dengan Aisyah istri Rasulullah. Selain dari permasalahan tentang peralihan kekhalifaan, juga muncul masalah mengenai perbedaan pandangan terhadap cara pembacaan sebagian ayat-ayat Quran.
Sahabat yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaian umat Islam dalam hal Al-Qur’an tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu ia ikut dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Selama dalam perjalannya, ia mendengar pertikaian antara kaum muslimin tentang bacaan Al-Qur’an dan saling mempertahankan kebenaran bacaan masing-masing. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera menemui Khalifah Usman bin Affan, dan mengusulkan agar khalaifah segera mengatasi perselisihan di antara umat Islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an.
Setelah mendengar pengaduan Huzaifah, Khalifah Usman bin Affan menyadari perlunya membuat mushaf yang dapat menyatukan ummat Islam. Melihat ummat Islam pada saat itu memiliki cara bacaan dan dialek yang berbeda-beda. Apalagi kemudian timbul anggapan bahwa bacaan mereka yang benar sedangkan yang lain salah. Untuk itu dalam menyatukan mushaf tersebut, Khalifah mula-mula meminjam naskah atau lembaran-lembaran Al-Qur’an yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Hafsah binti Umar, untuk ditulis kembali oleh panitia yang sengaja ditunjuk olehnya. Panitia tersebut diketuai oleh Zaid bin Sabit (penulis mushaf pada masa Abu Bakar, juga penulis ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad S A W) dengan anggota: Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam.
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai Al-Mushaf, dan oleh panitia telah dibuat 5 (lima) buah Mushaf. Kemudian dikirimkan oleh khalifah masing-masing ke Makkah, Syiria, Basrah, dan Kufah, sedangkan yang satu tetap dipegang Khalifah sendiri di Madinah. Khalifah Usman memerintahkan agar catatan-catatan yang ada sebelumnya dibakar, dan supaya umat Islam berpegang kepada mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan penyalinan berikutnya. Anjuran untuk berpegang pada kelima mushaf ini, karena mushaf ini memiliki ketentuan. Di antara ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh dan tidak diyakini dibaca pada masa Nabi. Tulisannya mampu mengakomodasi qiraat yang berbeda-beda dan menghilangkan semua tulisan sahabatyang tidak termasuk ayat Al-Qur’an.
F. Rasm (Al-Qur’an) Usmani
1. Pengertian Rasm Usmani
Rasm Usmani berarti tata cara atau kaidah-kaidah penulisan huruf-huruf Al-Qur’an yang disetujui Khalifah Usman bin Affan. Tulisan Al-Qur’an banyak berbeda karena masing-masing mempunyai kaidah-kaidah tersendiri.
2. Kaidah-kaidah Rasm Usmani
Menurut Ramli Abdul Wahid, para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah, antara lain:
a. Kaidah Buang
a) Membuang atau menghilangkan huruf Alif;
b) Membuang huruf Ya;
c) Membung huruf Waw;
d) Membung huruf Lam;
b. Kaidah Penambahan
a) Penambahan huruf Alif;
b) Penambahan huruf Ya;
c) Penambahan huruf Waw;
c. Kaidah Hamzah
d. Kaidah Penggantian
a) Huruf Alif ditulis dengan huruf Waw;
b) Huruf Alif ditulis dengan Ya;
c) Huruf Alif diganti dengan huruf Nun Taukid;
d) Huruf Ba’ta’niss ditulis dengan huruf Ta’maftahah;
e. Kaidah Kandung dan Pisah
f. Kata yang bisa di baca dua bunyi
Dalam mashabUsmani penulisan kata semacam ini, ditulis dengan menghilangkan Alif, seperti pada kalimat “Maliki yaum ad-din” dan “uakhda’una Allah”. Ayat-ayat ini boleh di baca dengan menetapkan Alif (madd) dan boleh dengan suara tanpa Alifsehingga bunyinya pendek.
3. Hukum mengikuti Rasm Usmani
Ketentuan hokum untuk mengikuti penulisan ayat-ayat Al-Qur’an menurut rasm usmani, para ulama dalam Ramli Abdul Wahid dengan judul karangan “Ulumul Qur’an” berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa sama sekali tidak boleh menyalahi tulisan Usmani.
Pendapat yang kedua menegaskan bahwa Al-Qur’an itu bukan tauqifi (arti; tergantung pada pentunjuk Nabi dan Allah). Melainkan bahwa tulisan Usmani merupakan format penulisan yang ditetapkan dan disepakati pada masa itu, artinya boleh saja tidak diikuti. Sedangkan pendapat yang ketiga membolehkan menulis Al-Qur’an untuk orang awan menurut istilah-istilah yang dikenal di kalangan mereka. Sementara tulisan lama harus ada yang memeliharanya sebagai warisan.
Demikian perbedaan pendapat para ulama. Namun bukankah sunnah menunjukan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana saja yang mudah. Sebab, Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu.
G.Qira’at
Pada sub bab ini, kami membahas tentang Qira’at. Hal ini di pandang perlu karena dalam permasalahan penulisan Al-Qur’an hingga berbentuk mushaf disebabkan oleh perbedaan Qira’at di kalangan ummat Islam.
1. Pengertian Qira’at
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, Muhammad Al-Zarqani dalam Ramli Abdul Wahid mengemukakan definisi qira’ah sebagai berikut:
“Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan keadaan-keadaannya”.
Kalau kita perhatikan definisi dari Al-Zarqani tersebut, terdapat tiga isi kandungan. Petama, qira’at di maksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam hal ini bisa kita lihat pada pembacaan Al-Qur’an yang berbeda dari setiap imam yang satu dengan imam lainnya; Kedua, cara bacaan yang dianut dalam suatu mazhab qira’at yang didasatkan atas riwayat bukan atas qiyas atau ijtihad; ketiga, perbedaan antara qira’ahbisa dilihat dalam pengucapan huruf-huruf.
2. Macam-macam Qira’at
Wilayah Islam yang sangat luas dimuka bumi ini menyebabkan para sahabat dan tabi’in menyebar dalam mengajarkan Al-Qur’an di berbagai kota, sehingga dalam perkembangannya menimbulkan berbagai macam cara bacaan. Dengan timbulnyai perbedaan qira’aat atau cara bacaan itu, menyebabkan sebagian dari riwayat qira’at tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan. Para ulama menulis qira’at-qira’atini dan sebagian qira’at menjadi masyhur seperti istilah “qira’at tujuh”, “qira’at sepuluh”, dan “qira’at empat belas”.
Qira’at tujuh adalah qira’at yang diamalkan oleh tujuh orang imam yang masyhur, yaitu Nafi al-Madani (w. 169 H), Ibn Katsir al-Makki (w. 120 H), Abu Amr Ibn al-Ala’, Ibn Amir al-Dimisyqi (w. 118 H), Ashim Ibn Abi al-Nujud al-Kufi (w. 127 H), Hamzah Ibn Habib al-Zayyat (w. 156 H), dan Al-Kisai (w. 189 H).
Sedangkan Qira’at sepuluh adalah qira’at yang tujuh (disebutkan di atas) ditambah dengan Abu Ja’far (w. 130), Ya’qub al-Hadhrami (w. 205 H), Khalaf Ibn Hisyam al-Bazzar (w. 229 H). untuk Qira’at empat belas adalah qira’at yang sepuluh ini ditambah dengan Ibn Muhaishin (w. 123 H), Al-Yazidi (w. 202 H), Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), dan Al-A’masy (w. 148 H).
3. Tinggakatan Qira’at
Untuk mengetahui antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah). Para ulama membuat persyarat bagi qira’at yang dapat diterima. Syarat qira’at tersebut dalam Ramli Abdul Wahid terbagi menjadi tiga syarat, yaitu; Pertama, qira’at itu sesuai dengan bahasa arab sekalipun satu jalan. Kedua, qira’at itu sesuai dengan salah satu mushaf usmani. Dan Ketiga, kesahihan sanadnya (riwayat), baik diriwayatkan dari imam qira’at yang ketujuh, sepuluh maupun dari imam-imam qira’at yang diterima selain mereka.
Untuk syarat ketiga tentang kesahihan sanad, Al-Suyuthi yang mengutip Ibn al-Jazari dalam Ramli Abdul Wahid mengelompokkan sanad qira’at sebanyak enam macam.
1. Mutawatir,yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap angkatan sampai kepada Rasulullah.
2. Masyhur, yaitu qira’atyang sanad sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir.
3. Ahad, yaitu qira’atyang sanadnya sahih. Akan tetapi qira’atini menyalahi tulisan mushaf usmani.
4. Syaz, yaitu qira’atsanadnya tidak sahih.
5. Maudhu, yaitu, qira’atyang diamalkan oleh seseorang tanpa dasar qira’at.
6. Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi Al-Qur’an.