Sejarah Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 - Keberadaan orang Tiongkok di Indonesia atau Nusantara telah ada sejak Majapahit berjaya. Bahkan hubungan billateral antara Cina dengan Nusantara telah ada sejak Sriwijaya menjadi penguasa maritim. Hubungan ini semakin tahun semakin berkembang, entah itu perdagangan atau bahkan budaya. Dari sisi kebudayaan, proses asimilasi pun terjadi sehingga berdampak pada warna kebudayaan Indonesia yang semakin beragam.
Kedatangan orang Tionghoa di Nusantara sangatlah masif pada masa perdagangan maritim. Hal tersebut berdampak pada menetapnya orang Tionghoa di Nusantara. Mereka menetap dengan waktu yang lama sehingga melakukan perkawinan dengan pribumi dan lahirlah Tionghoa Peranakan. Walaupun status etnis sudah menjadi Tionghoa Peranakan, namun budaya mereka tetaplah Tionghoa asli. Artinya budaya mencari nafkah atau bekerja itu sangat lah gesit atau ulet.
Sejarah Terjadinya Pembantaian Etnis Tionghoa
Sejarah mengungkapkan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Cina telah ada sejak zaman Sriwijaya berjaya. Hubungan itu terjalin karena adanya ikatan perdagangan di antara kedua belah pihak. Masuknya orang Cina ke Nusantara pun telah terjadi ketika Sriwijaya menjadi kerajaan dengan pusat agama Buda kedua setelah India. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi jika Nusantara sudah lama berteman dengan Cina.
Sejarah Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 |
Gelombang kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara pun terus terjadi, bahkan ketika VOC telah menguasai Nusantara. Banyak alasan mengapa orang Tionghoa tertarik tertatrik untuk berdagang diNusantara, salah satunya alasan karena Batavia atau Sunda Kelapa menjadi pusat perdagangan dari berbagai penjuru dunia. Tidak hanya masyarakat Tionghoa saja yang tertarik, VOC pun tertarik dengan keberadaan pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Hal tersebut dikarenakan fungsinya yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudra Hindia.
VOC masuk ke Nusantara pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelis de Houtman bertempat di Banten. Beliau masuk ke Nusantara atas nama VOC bukan Negara Belanda. Kedatangan VOC ini membuka peluang kerja bagi orang Tionghoa sehingga banyak dari mereka yang menjadi pegawai kongsi dagang tersebut.
Tidak hanya sebagai pegawai, keberadaan orang Tionghoa ini dimanfaatkan betul oleh VOC. Dikarenakan masyarakat Tionghoa mudah berbaur dengan para kaum pribumi dan juga ulet dalam bekerja. Hal tersebut menghasilkan kerjasama antara VOC dengan orang Tionghoa. Kerjasama itu telah berlangsung pada masa Jan Pieter Zoen Coen menjabat sebagai Gubernur Jendral di Batavia. Beliau menjalin kerjasama dengan So Bing Kong atau Kapiten Bencon dalam dunia industri dan perdagangan. Sebagai bentuk timbal balik, JP Coen melindungi masyarakat Tionghoa dari kesewenangan pegawai VOC. Sang Gubernur Jendral merasa senang bekerjasama dengan orang Tionghoa karena mereka membuat VOC untung besar. Peran orang Tionghoa amatlah penting, karena mereka dapat menjadi penebus, pemborong atau pun penyewa. Catatan semacam itu menunjukkan bahwa orang Tionghoa telah memiliki peran penting dalam dunia ekonomi, meskipun jumlahnya tidak banyak.
Hubungan kerja yang intensif mengakibatkan adanya konflik antar VOC dengan orang Tionghoa. Mereka brekelahi layakmya anak kecil, diam dan membenci tanpa ada perundingan agar mendapatkan solusi. Banyak hal yang menjadi alasan mereka berkonflikantara lain karena pegawai VOC telah membenci mereka ketika menginjakkan kaki pertama kali di Nusantara.
Berbagai macam alasan dari adanya konflik tersebut. Namun jika ditelisik secara kacamata budaya, kedua komunitas ini amatlah berbeda secara mendasar. Terbukti dengan adanya konflik budaya pada tahun 1690 dan 1706 karena warga Tionghoa dilarang menggunduli kepala bagian depan dan menguncir rambut bagian belakang. Sebaliknya, orang Cina juga tidak suka terhadap orang Belanda karena mereka ingin semua keuntungan dan hasil perdagangan masuk ke kantong sendiri. Masing-masing komunitas ini saling membenci karena memiliki gaya hidup yang berbeda pula.
Banyak pernyataan yang secara eksplisit di sampaikan oleh kedua pihak ini. Seperti pernyataan yang keluar dari Nahkoda kapal Cina:
“Orang-orang Belanda sukar untuk didekati serta tinggal berdesak-desakan di dalam sebuah kastil besar dan merahasiakan segala sesuatu”
Nahkoda itu merupakan bawahan VOC yang bertugas mengantarkan para orang Belanda hilir mudik dari pelabuhan Sunda Kelapa ke berbagai pelabuhan lain di Nusantara. Tidak hanya dari pihak Tionghoa, pihakVOC pun merasa dicurangi karena sifat kerja orang Tionghoa yang gesit dan licik dalam pedagangan.
Berbeda dengan hubungan antara orang Tionghoa dengan penduduk setempat. Keberadaan mereka sangatlah diterima oleh para penduduk lokal dan sebaliknya Itu bisa terjadi karena orang Tionghoa mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Berbaurnya orang Tionghoa dengan masyarakat lokal ini membuat VOC khawatir dan menjadi bibit konflik kembali. Petinggi VOC cemas bila orang Tionghoa dapat menguasai perekonomian Nusantara pada waktu itu.
Setiap tahun semakin banyak masyarakat Tionghoa yang menetap di Nusantara, sehingga jumlah mereka pun semakin banyak. Tercatat dalam daghregister, pada tahun 1619 jumlahnya sekitar 400 orang, 31 Agustus 1620 sekitar 800 orang, dan 26 Oktober 1620 sekitar 900 orang. Masa-masa awal mereka bertempat tinggal di luar tembok kota tetapi semakin merapat masuk ke kota. Hingga pada tahun 1740 tercatat sekitar 2500 rumah orang Tionghoa sudah berada di dalam tembok Batavia dan jumlah keseluruhan mencapai angka 15.000 jiwa. Hal itu dikarenakan pelabuhan Sunda Kelapa yang semakin ramai, sehingga membuat mereka tertarik.
Kebencian pegawai VOC terhadap masyarakat Tionghoa yang sebelumnya sudah tertanam, semakin menjadi-jadi. Dikarenakan migrasi besar-besaran pada tahun 1686 yang dilakukan oleh para pedagang Tionghoa. Fakta membuktikan bahwa sejumlah 11 kapal jung datang dari Cina membawa sekitar 800 kuli miskin. Migrasi itu terjadi karena keadaan di Cina Selatan yang sedang kacau.
Menanggapi kedatangan imigran gelap itu, VOC segera membuat peraturan yang ketat. Setiap kapal jung yang datang ke Sunda Kelapa akan diperiksa isi penumpang. Indikator pengenaan sanksi dilihat dari besar kecilnya kapal jung. Kapal Jung besar hanya boleh menampung 100 orang dan dikenakan biaya sekitar 1.000 ringgit, sedangkan yang kecil hanya boleh menampung 80 penumpang dengan denda sebesar 500 ringgit. Peraturan yang lebih spesifik lagi dibuat oleh Belanda, menyinggung penumpang itu sendiri. Peraturan itu berbunyi :
“Setiap penumpang yang tidak dikenal akan dikenakan biaya sebesar 15 ringgit”
Seperti itulah macam peraturan yang dibuat oleh VOC untuk menekan jumlah orang Tionghoa di Batavia. Setiap tahun peraturan untuk orang Tionghoa terus berkembang, namun penerapannya tidak sesuai dengan harapan karena muncul tindakan korupsi di tubuh VOC.
Semakin banyak penduduk, semakin banyak pula kebutuhan lapangan kerja yang harus dipenuhi. Pertambahan penduduk ini juga dikarenakan imigran dari Tionghoa seringkali masuk dan lolos dari pegawai VOC di pelabuhan. Harapan sang imigran itu adalah mendapat pekerjaan ketika sampai di Batavia.
Namun apa boleh buat, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan dan akhirnya bergabung dengan gerombolan penjahat. Ketimpangan itu mengakibatkan tingginya angka kriminalitas di Batavia.
Inti dari pecahnya bentrokan antara VOC dengan orang Tionghoa itu dikarenakan ada salah paham antar kedua belah pihak. Pada pertengahan tahun 1740 itu VOC telah mencium rencana pemberontakan orang Tionghoa. Sementara itu masyarakat Tionghoa mengira bahwa akan ada pembuangan para imigran atau warga sesamanya ke laut. Hal ini lah yang perlu dikaji lewat kacamata orang Indonesia atau masyarakat Tionghoa (Peranakan atau Totok). Dugaan kuat bahwa pergerakan mereka itu adalah salah satu bentuk protes atas kekejaman dan kesewenangan VOC terhadap warga Tionghoa dan pribumi.
Pemberontakan ini awalnya dipicu karena kejadian pada 4 Februari 1740 di beberapa pos jaga VOC. Banyak orang Tionghoa yang ditahan oleh VOC pada saat perayaan Imlek sepanjang Tanjung Priuk sampai Bekasi. Beberapa bulan kemudian situasi kota sempat mereda sejenak. Keadaan kembali panas pada 7 Oktober, sebagai usaha menghadapi VOC.
Tragedi itu berbentuk penyerangan pos jaga sisi tembok luar Batavia (Bekasi, Tanah Abang, Angke, de Qual). Gerombolan Tionghoa itu membantai serdadu VOC yang sedang bertugas. Tidak sedikit jumlah korban yang jatuh dalam pembantaian itu. Dapat disimpulkan bahwa awal mula pemberontakan itu berhasil. Keberhasilan itu tidak terlepas dari peran sang pemimpin bernama Khe Panjang yang memimpin pemberontakan di Bekasi. Sehari setelah permulaan pemberontakan itu, keluarlah maklumat sebagai bentuk tanggapan situasi panas tersebut. Pada waktu yang bersamaan, para gerombolan itu sudah dapat memasuka sisi dalam kota. Melihat keadaan yang semakin gawat itu, serdadu VOC kocar-kacir dan memberikan perlawanan semaksimal mungkin.
Jumlah korban yang jatuh semakin banyak ketika penumpasan habis orang Tionghoa dilakukan pada 9 Oktober. Penumpasan ini merupakan tanggapan represif dari VOC karena sudah begah dengan kelakuan orang Tionghoa yang bergabung dengan gerombolan penjahat itu. Pembunuhan secara masal ini ternyata telah didukung dan diperintahkan oleh Adrian Valckeiner, Gubernur Jendral Batavia 1737-1741. Akibatnya tragedi ini menjatuhkan korban dengan jumlah sekitar 10.000 jiwa.
Walaupun sudah banyak korban yang berjatuhan, namun tetap saja VOC melakukan penyerangan terhadap gerombolan itu. Perlawanan itu dimulai pada 10 hingga 14 Oktober dengan bantuan yang didapat dari Bali dan juga Bugis. Bentuk perlawanan ini merupakan salah satu pencetus terjadinya perlawanan yang lain di Pulau Jawa pada abad XVIII. Ketika itu keadaan kota Batavia sangat kacau, bahkan penuh kepulan asap karena banyak rumah orang Tionghoa yang dibakar. Tanah pun juga menjadi merah karena banyak korban yang jatuh. Perlu diketahui pula bahwa yang menjadi korban bukan saja masyarakat Tionghoa yang melawan VOC, tetapi juga Tionghoa peranakan yang tidak tahu menahu tetapi menjadi korban.
Adanya perlawanan tersebut membuat para gerombolan memutar otak agar tidak tertangkap oleh serdadu VOC. Rata-rata para pemimpin gerombolan mengungsi ke arah timur, pesisir pantai utara. Mereka memilih pesisir pantai karena ketersediaan gerombolan Tionghoa yang masih banyak dan keberadaan syabandar pelabuhan di Indramayu, Cirebon dan Semarang. Bahkan Tai-Wan-Sa mengungsi ke Bali, demi menjauhkan ancaman dari VOC.
Perlawanan ini berbuntut panjang hingga ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Kartosuro salah satunya, gerombolan Tionghoa yang mengungsi ke sini mendapat bantuan dari Patih Natakusuma untuk melanjutkan kembali perjuangaannya melawan VOC di kota tersebut. Bahkan tidak hanya di Kartosuro saja, di beberapa daerah seperti Rembang dan Demak perkumpulan itu mendapatkan bantuan dari para Tumenggung yang juga merasa risih terhadap sikap VOC.
Sehingga dapat kita ketahui bahwa alasan pemberontakan ini dikarenakan kebencian orang Tionghoa terhadap VOC dan juga sebaliknya. Kongsi dagang itu juga merasa tersaingi dengan keberadaan masyarakat Tionghoa yang sudah memiliki pangsa pasar sendiri dan skupnya pun luas. Begitu pula orang Tionghoa menanggapi tindakan tegas VOC yang mengira bahwa mereka akan dibuang ke laut dalam perjalanan ke Ceylon.
Dampak Akibat Pembantaian Etnis Tionghoa
Sudah dijelaskan pada subab sebelumnya bahwa perlawanan yang dilakukan oleh masyakat Tionghoa terhadap VOC itu merupakan trigger dari perlawanan lainnya di Pulau Jawa. Dikarenakan setelah pecah perlawanan di Batavia pada Oktober 1740 itu, berlanjut hingga beberapa tahun kemudian yang bertempat di Kartosuro, Semarang dan Rembang . Penyebutan ketiga wilayah tersebut bukan tanpa maksud. Ketiga kota tersebut menjadi saksi bisu dari tragedi perlawanan pribumi plus Tionghoa terhadap VOC.
Kartosuro merupakan wilayah yang terkena dampak pertama dari perlawanan orang Tionghoa terhadap VOC. Ada banyak gerombolan orang Tionghoa yang telah kocar-kacir menghadapi serdadu VOC itu mengungsi ke kota ini dengan maksud mencari perlindungan. Para “pemberontak” yang telah bergabung dengan gerombolan lainnya itu berencana kembali membuat perlawanan terhadap VOC.
Rencana itu ternyata sampai pada Patih Natakusuma yang memiliki otoritas di Kartosuro. Patih Natakusuma membantu gerombolan Tionghoa itu untuk melawan kekuasaan VOC dengan imbalan pemberian wilayah Pantai Utara beserta keuntungannya. Berbeda dengan kubu petinggi wilayah pesisir yang lebih memilih diam dan menunggu keadaan VOC sampai pada titik tersulit sehingga mereka meminta bantuan terhadap Keraton Solo. Keadaan di dalam Keraton itu terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok Patih Natakusuma dan petinggi wilayah pesisir. Dualisme ini membuat Pakubuwana II yang pada saat itu memerintah Keraton merasakan dilema. Keduanya memiliki maksud yang sama yaitu melawan VOC tetapi berbeda jalur praktik perlawanan. Namun semua itu sirna ketika Pakubuwana II bersikap untuk tetap menunggu momentum yang akhirnya menyebabkan mereka tetap dalam kungkungan VOC.
Semarang juga tidak kalah menarik, perlawanan itu sangat masif dan melibatkan banyak orang. Di kota pesisir ini mereka menyerang markas besar VOC. Mengetahui bahwa pemberontak telah mengepung markas besar, para orang Belanda panik dan akhirnya mereka mengalami perpecahan. Keadaan semakin parah ketika mengetahui bahwa mereka kekurangan tenaga serdadu dan kekuatan militer. Sehingga mereka menghubungi Batavia untuk meminta bantuan tenaga. Akhirnya mereka pun dapat menang melawan para “pemberontak” itu dengan kekuataan seadaanya.
Di Demak pun terjadi tragedi berdarah karena perlawanan Tionghoa plus pribumi dengan VOC. Bahkan sampai pada pengosongan pos karena tahu bahwa jumlah serdadu kalah dengan para pejuang. VOC meninggalkan pos nya pada Mei 1741 sehingga Demak dapat dikuasai oleh pribumi dan gerobolan orang Tionghoa sementara waktu. Menjalar ke beberapa wilayah lainnya seperti Gresik, Priangan dan Juwana yang telah jatuh pada saat yang bersamaan dengan jatuhnya Demak. Kota Rembang tidak ketinggalan disernag oleh para pejuang itu. Kota pelabuhan itu telah menjadi wilayah mereka sejak 27 Juli 1741. Lalu perang itu sekarang dikenal dengan nama Perang Kuning.
Keberhasilan para pejuang ini karena adanya kerjasama antara gerombolan Tionghoa dengan pribumi. Penggabungan para “pemberontak” dengan pasukan Jawa menjadikan mereka kuat dan sama-sama merasa ingin melawan VOC. Jumlah dari mereka sekitar 20.000 orang yang terpencar dalam beberapa kelompok kecil lagi dengan 20 tumenggung sebagai pimpinannya.
Peran tokoh masyarakat skala kecil sangatlah penting pada saat perencanaan ini dilakukan. Tidak dipungkiri memang jika buruh atau petani pun memiliki andil besar dalam perwujudan cita-cita akan kemerdekaan.
Setelah perlawanan reda di beberapa daerah, VOC menanggapinya langsung dengan pembuatan peraturan kembali yang sifatnya sangatlah ketat. Keberadaan gerombolan Tionghoa di wilayah pesisir pantai Jawa Tengah menyebabkan adanya peraturan Wijkenstelsel. Peraturan itu mengatur permukiman etnis Tionghoa di beberapa wilayah. Hal itu mencegah mereka berbaur dengan orang pribumi dan mengkonsentrasikan kegiatan ekonomi di wilayah tempat orang Tionghoa bermukim.
Mengenaskan jika melihat dampak dari perlawan VOC itu abad 19 ketika Perang Jawa sedang berlangsung. Orang Tionghoa dibantai di Ngawi oleh Raden Ayu Yudakusuma. Diduga bahwa orang Tionghoa merupakan kaki tangan VOC dan menjadi pemungut pajak pada masa itu sehingga mereka pun ikut dibantai. Peristiwa itu menyebabkan orang Tionghoa mengalami peran sebagai pelaku dan juga korban.
Peran ekonomi masyarakat Tionghoa tidak berhenti pada masa VOC, tetpai pada masa Inggris pun mereka memegang perang penting. Paragraf sebelumnya menyebutkan bahwa mereka menjadi pegawai pemerintahan kelas bawah. Mereka bekerja sebagai pemungut pajak. Pendaya gunaan orang Tionghoa sebagai pegawai pajak ini membawa efek negatif bagi mereka karena kedepannya mereka dibenci oleh orang Jawa.
Bukan berarti orang Jawa membenci tanpa alasan. Mendirikan pasukan sendiri merupakan salah satu alasannya. Rasa benci terhadap orang Tionghoa terus saja terjadi. Setelah perang Perang Kuning, ada pula Geger Pecinan yang terjadi pada tahun 1755 namun dapat dipatahkan oleh VOC.
Sehingga dapat kita rangkum secara general bahwa perlawanan orang Tionghoa terhadap VOC pada 1740 itu memberi dampak terhadap perlawanan lainnya di Pulau Jawa, Artinya bahwa perlawanan di Batavia itu adalah awal mula dari munculnya perlawanan terhadap VOC atau batu loncatan untuk perlawanan lainnya.
Selain itu dampak yang dapat dilihat secara fisik hingga saat ini adalah keberadaan pecinan di kota-kota tertentu. Permukimam yang terkonsentrasi merupakan dampak dari perlawanan tersebut dan dapat dilihat sekarang ini. Salah satu contohnya ialah Glodok yang merupakan pecinan di daerah Jakarta. Tempat ini menjadi pecinan setelah VOC mengizinkan masyarakat Tionghoa kembali ke Batavia, dan nama Glodok itu berasal dari pemilik ladang tebu asala Bali bernama Arya Glitok.
Demikianlah materi tentang Sejarah Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Sejarah Konflik Sambas Melayu Vs Madura yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar…!!!